Selamat datang di uzairsuhaimi.blog! Blog ini merekam jejak pemikiran penulisnya mengenai bidang sosial-ekonomi-kependudukan dan refleksinya mengenai kebijaksanaan abadi dalam perspektif Islam.
Hadits Jibril menegaskan tiga cabang, logi, atau pilar Agama: Īmān, Islām dan Ihsān. Dua cabang pertama sangat populer karena terkait dengan apa yang dikenal sebagai Rukun Iman dan Rukun Islam, cabang terakhir kurang populer. Cabang ini dirumuskan secara sangat padat: “Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jika tidak mampu melihat-Nya, percayalah Dia senantiasa melihatmu”.
Layaknya fungsi cabang pada pohon, kekurangan cabang pasti akan mengurangi ‘keteduhan’ pohon Islam. Layaknya bangunan gedung, kekurangan satu pilar dari yang seharausnya akan mengurangi nilai seni arsitektur, mengganggu keseimbangan daya tahan atau bahkan merobohkan bangunan Islam.
Tulisan pendek ini terkait dengan topik Ihsān dan dapat diakses di SINI
Statistics and religion. This is perhaps an unusual combination for many. The first is dealing with the empirical world, the second with that beyond that world. However, that is my reflection regarding myself.
As a statistician, I spent 30 years (1981-2011) serving BPS-Statistics Indonesia. After that my professional services were dedicated to TNP2K office (an office under the vice president office) for a few months and to ILO-ROAP as a senior statistician for half a year. Since 2012 most of my time is dedicated as an independent consultant on statistics-related work, mostly for ILO and on some occasions for some government offices Indonesia. My recent work (2019) was on estimating child labour in Indonesia for ILO Country Office Jakarta.
As for personal interest, since young, I've been fascinated with the basic principles of religious thought, especially on its esoteric dimensions, essentiality, and universality. Sufism and perennial philosophy are of my special interest. On this subject, I have posted a number of short articles in my personal blog: https://uzairsuhaimi.blog.
View all posts by Uzair Suhaimi
Published
5 thoughts on “Ihsān: Pilar Agama yang Terabaikan”
Menyambung makna ihsan pada konteks implementasi amal, dalam hadits riwayat Muslim (Hadits ke 19 arba’in An Nawawi) disebutkan bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik pada segala hal. Oleh karena itu, jika kalian membunuh, bunuhlah dengan pembunuhan yang baik dan hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya”
Menurut Ibnu Rajab, tekstual hadits menghendaki Allah mewajibkan berbuat baik kepada seluruh mahkluk. Jadi segala hal dan seluruh makhuk adalah obyek yang diwajibkan, sedang yang diwajibkan adalah berbuat baik.
Ada yang mengatakan bahwa makna hadits ialah sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik kepada segala hal atau di segala hal. Atau maknanya ialah sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik dalam mengelola segala sesuatu. Jadi sesuatu yang diwajibkan tidak disebutkan, dan yang disebutkan hanyalah pihak yang harus diperlakukan dengan baik.
Masih menurut Ibnu Rajab dalam mensyarah hadits ini bahwa berbuat baik yang diwajibkan dalam berinteraksi dengan manusia dan makhluk lain ialah menunaikan hak-hak mereka sebagaimana yang diwajibkan oleh Allah. Berbuat baik yang diwajibkan dalam memimpin manusia ialah melaksanakan semua kewajiban kepemimpinan, sedang proporsi selebihnya yang tidak termasuk diwajibkan maka itu disebut ihsan.
TKB komentarnya. Pada tataran operasional kehidupan sehari-hari saya lebih saya lebih cenderung merujuk al-Iamran 133-134, kobinasi muttaqin dan muhsinin: berinfaq dlm keadaan lapang atau sulit, menahan amarah dan memaafkan. Kalau ada ayat kenapa pakai hadits (yang kualifikasi bisa macam2)? Apalagi komentar ulama (yg tidak maksum) terhadap hadits…
Reblogged this on Jejak Pemikiran dan Refleksi.
LikeLike
Menyambung makna ihsan pada konteks implementasi amal, dalam hadits riwayat Muslim (Hadits ke 19 arba’in An Nawawi) disebutkan bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik pada segala hal. Oleh karena itu, jika kalian membunuh, bunuhlah dengan pembunuhan yang baik dan hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya”
Menurut Ibnu Rajab, tekstual hadits menghendaki Allah mewajibkan berbuat baik kepada seluruh mahkluk. Jadi segala hal dan seluruh makhuk adalah obyek yang diwajibkan, sedang yang diwajibkan adalah berbuat baik.
Ada yang mengatakan bahwa makna hadits ialah sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik kepada segala hal atau di segala hal. Atau maknanya ialah sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik dalam mengelola segala sesuatu. Jadi sesuatu yang diwajibkan tidak disebutkan, dan yang disebutkan hanyalah pihak yang harus diperlakukan dengan baik.
Masih menurut Ibnu Rajab dalam mensyarah hadits ini bahwa berbuat baik yang diwajibkan dalam berinteraksi dengan manusia dan makhluk lain ialah menunaikan hak-hak mereka sebagaimana yang diwajibkan oleh Allah. Berbuat baik yang diwajibkan dalam memimpin manusia ialah melaksanakan semua kewajiban kepemimpinan, sedang proporsi selebihnya yang tidak termasuk diwajibkan maka itu disebut ihsan.
LikeLike
TKB komentarnya. Pada tataran operasional kehidupan sehari-hari saya lebih saya lebih cenderung merujuk al-Iamran 133-134, kobinasi muttaqin dan muhsinin: berinfaq dlm keadaan lapang atau sulit, menahan amarah dan memaafkan. Kalau ada ayat kenapa pakai hadits (yang kualifikasi bisa macam2)? Apalagi komentar ulama (yg tidak maksum) terhadap hadits…
LikeLike