Tingkat Kemakmuran dan Keadilan Masyarakat: Perbandingan Antar Propinsi


Artikel ini memotret posisi-relatif propinsi terhadap posisi nasional dalam hal terkait-kemakmuran dan keadilan, menggunakan “alat potret” sejumlah indikator sosial-ekonomi yang dianggap relevan. Alat potret yang digunakan merupakan produk BPS terkini sehingga profil yang ditampilkan menggambarkan status-terkini pula. Hasil pemotretan antara lain mengindikasikan bahwa empat propinsi yang tergolong ideal dalam arti  relatif makmur wilayahya dan relatif kaya penduduknya: Jakarta, Riau dan Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur.

Bagi yang berminat mengakses artikel lengkap silakan klik (edit terakhir: 9/4/2010): Makmur_Adil

6 thoughts on “Tingkat Kemakmuran dan Keadilan Masyarakat: Perbandingan Antar Propinsi

  1. Sangat akademik narasi yang disampaikan dan memberikan pencerahan dari aspek kajian.

    Penghitungan wealth index seperti yang disampaikan oleh worlbank, “deon filmer” (kalo nggak salah), sepertinya patut untuk dijadikan tools untuk membandingkan antar propinsi.

    Issu ketimpangan, selalu mendominasi negara dunia ketiga. Karena umumnya negara ketiga lebih fokus pada bidang politik dan ekonomi dan sedikit yang memahami aspek sosiolgis (pembangunan berfokus pada manusia).

    Semoga Indonesi dengan banyaknya pembersihan pada penyalahgunaan wewewang, dana pembangunan dan pemanfaatannya bisa dirasakan oleh seluruh rakyat.

    Top buat Pak Uzair yg masih sempat buat kajian berat, padahal lagi sibuk Sensus ya.

    Like

  2. Pak Uzair saya hanya ingin menyoroti data dasar PDB, apakah masih layak dipakai sebagai hitungan pertumbuhan ekonomi? Produk domestik bruto (PDB) merupakan totalitas nilai tambah, balas jasa factor produksi yang digunakan dalam perekonomian. Jadi kita harus memilah pemilik factor produksi yang dimiliki asing dan penduduk Indonesia. Karena kalau sebagian pemilik factor produksi bukan penduduk Indonesia lalu siapa yang menikmati keuntungan pertumbuhan? Saya yakin dibalik angka pertumbuhan yang disajikan tersebut apabila dibedah per sector pasti ada sector yang tumbuhnya pas-pasan yaitu pertanian dan sector tradisional lainnya yang lebih banyak dimiliki oleh penduduk Indonesia. Kalau hal ini dipaksakan, yang terjadi adalah pertumbuhan semu. Dan akan lebih parah lagi kalau dugunakan sebagai dasar kebijakan. Barangkali akan lebih pas kalau data PDB dibersihkan dulu dari pendapatan bersih dari luar.

    Like

  3. You hit the nose: memang lebih halus kalau pakai PNB, yang sudah dibersihkan (Itulah sebabnya saya tuliskan, “semakin disadari keterbatasannya”). Tetapi yang dipraktekkan ya PDB (constant) itu—mungkin kita kurang PD mengenai kecermatan faktor “pembersihnya”.
    One more thing: fokus artikel perbandingan propinsi dan kita baru mampu menghitung atau mempublikasikan PDRB, tetapi belum PNRB. To me, sejauh kita gunakan indikator yang sama secara konsisten, betapapun dia punya keterbatasan, studi perbandingan masih OK. Setuju? Salam

    Like

  4. Paradigma pengukuran perekonomian NOTABEN “merujuk pada pertumbuhan” sudah akan ditinggalkan, bahkan sebaiknya di tinggalkan. OECD 2011 June, menerbitkan “index kebahagiaan”. Kalau orang awak mungkin bisa menggunakan berbagai indikator pendidkan, kesehatan, mobilitas dan keamanan; yg mana ke-4 komponen tadi merupakan “Pople centre development theory” yg bis aterukur dna mewakili kesejahteraan. Selalu dlm UUD dan RPJM disebutkan “manusia perencana, pelaku dan se-x gus penikmat” pembangunan, Namun dalm kenyataannya ‘ukuran monev” makna itu terabaikan. Pertumbuhan yg kita miliki 6,4 % itu “Government do nothing”, dan yang punya nilai tambah di situ majjority “investor” berimplikasi asing, bukan milik orang kecil atau rakyat indonesia asli. implikasi temporary yg sy tarik itu ‘bukan milik rakyat Indonesia’ karena, metode yg di terapkan dalampengukuran PDRB tidak mencatat nilai tambah orang-2 kecil. Sektor pertanan sekrang di dominasi oleh penduduk tua yg mayoritas tinggal di pedesaan.
    Kami kalu ada kesempatan nanti akan menghitung penrapan Life Table based on Education level. tks Pak Uzair….sudah boleh sharing….shr

    Like

    1. Dear Sri,
      Jika paradigma pertumbuhan mau ditinggalkan, apa gantinya? Sambil menunggu gantinya, yang realistis dan produktifl to me adalah memperbaiki “cara baca” indikator pertumbuhan yang oleh sebagian hampir bersifat ideologis bahkan “mistis” padahal perlu selalu disertati sensitivitas mengenai keterbatasan yang melekat dalam indikator itu. Keterbatasan tidak selalu harus diganti tho! Ia dapat, misalnya, di-supplemet dengan indikator lain dalam konteks ini. We might supplement PDB (and some other conventional macro policies) with other indicators related to —for examples– access to trade and finance, job creation, transparency, accountability, and good governance, smarter social protection, etc. How is that?
      Thanks for sharing the info.
      Selamat tahun baru ya!

      Like

Leave a reply to joko_ywno Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.