Puisi 1: Misteri Keberadaan
Menurut teks suci[1]:
“Dia Allah Yang tiada Tuhan Selain Dia;
Dia Mengetahui yang gaib dan yang nyata;
Dia-lah ar-Rahmân dan ar-Rahîm”.
“Dia Allah Yang tiada Tuhan Selain Dia;
al-Malik, al-Quddûs, as-Salâm, al-Mu’min, al-Muhaimin, al-‘Azîz, al-Jabbâr, al-Mutakabbir;
Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.
“Dia Allah, al-Khâliq—al-Bâri, al-Mushawwir;
Milik-Nya al-Asmâ al-Husnâ;
Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan di bumi dan Dia al-Azîz al-Hakîm”.
Dia (Hua)[2]:
Esensi di balik sifat-sifat;
Prinsip tertinggi sejauh ia adalah dirinya sendiri;
Misteri keberadaan, esensi, kondisi-Nya yang sebenarnya.
Tuhan (Allah):
Prinsip Tertinggi sejauh ia memuat segala sesuatu;
Misteri mengenai Ketuhanan.
Maha_Suci_Dia!
Dia Misteri Keberdaan, Misteri Ketuhanan, Yang Absolut, tak terjangkau
Bagi-Nya sejumlah nama yang merefleksikan diri-Nya,
Nama-nama yang eksklusif, al-Asmâ al-Husnâ[3],
termasuk ar-Rahmân, prinsip penciptaan[4];
Dengan prinsip itu terciptalah semua makhluk,
semua yang relatif, Maya, all non-divined created being.
Subhaanallah! … @
[1] Al-Hasyr ayat 22-24, Tafsir Al-Mishbah Volume 14, Lentera Hati.
[2] Frithjof Schuon (2002), Transfigurasi Manusia, halaman 165-166, Qalam.
[3] Firman-Nya: “Serulah Allah atau serulah ar-Rahmân…!”
[4] Menurut Ibu ‘Arabi ar-Rahmân lebih mendekati prinsip ontologis, prinsip penciptaan dari pada prinsip etis sebagaimana dipahami secara umum. Hemat penulis pandangan ‘Arabi ini sejalan dengan makna 2-3 ayat pertama Al-Fatihah.
Sumber: Google Image
Puisi 2: Misteri Kebahagiaan
Semua berasal dari Dia yang Awal (al-Awwal) dan kembali kepada Dia yang Akhir (al-Akhir).
Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râjiûn[1].
Dia adalah α dan ф untuk semua.
al-Awwal, seperti seorang bijak[2] mencitrakannya:
Prinsip Tertinggi selama ia ‘belum’ menjadi Manifestasi, dan selama Keabadiannya ‘menghendaki’ Pancarannya.
Misteri mengenai asal usul, dari yang sempurna yang primordial.
al-Akhir, seperti orang bijak itu[3] merumuskannya:
Prinsip Tertinggi selama ia ‘telah’ memanifestasi, dan sejauh keabsolutannya ‘menghendaki’ penyatuan.
Misteri mengenai kebaikan terakhir, dari
Keheningan abadi.
al-Awwal, sumber segala.
Terimalah kebenaran ini tanpa bertanya bagaimana, bilâ kaifa.
Percayalah! Semua kita adalah penandatangan perjanjian primordial:
Alastu birabbikum qâlû balâ syhaidnâ[4].
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan Kami), kami bersaksi”
al-Akhir, tujuan akhir segala.
Dia lah pusat gravitasi segala.
Ke arah-Nya semua bergerak; sadar atau tidak; suka rela atau terpaksa
Dia lah sumber kerinduan hakiki
Dia yang senantiasa memanggil tanpa suara (silence call) dan ‘obyek’ cinta sebenarnya.
Hanya al-Akhir yang tak-terbatas itu yang dapat memuaskan dahaga cinta manusia yang rentangnya juga tak-terbatas.
Selain Dia— termasuk kekayaan, kekuasaan, dan keindahan material— adalah instrumental, intermediate, temporal, parsial, rapuh, ‘menipu’.
Sengsaralah mereka yang keliru memilih obyek cinta!
Berbahagialah mereka yang telah memilih secara tepat al-Akhir sebagai obyek cinta!
Berbahagialah mereka yang mampu menjaga keterhubungan dengan al-Akhir!
Yaitu mereka yang mendirikan salat secara sempurna, berdzikir tanpa jeda, dan bertafakkur dengan rendah hati.
Berbahagialah mereka yang mampau mencapai puncak kebahagiaan,
Yaitu mereka yang layak merespon secara positif udangan-Nya:
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”[5]
Yaitu mereka yang mampu merealisasikan “berjumpa” dengan Rab-nya, liqâa rabbihi[6] .
Maa_Syaa_Allah! ….. @
[1] Al-Baqarah (156)
[2] Frithjof Schuon (2002), Transfigurasi Manusia, halaman 165, Qalam.
[3] ibid
[4] Al-‘Arâf (172)
[5] Al-Fajr (27-30)
[6] Al-Kahf (110)
Sumber: Google Image
Puisi 3: Misteri Keterhubungan
Ada satu pulau terpencil:
berudara sejuk, bersih, tanpa polusi
berpantai datar-luas-putih
tanpa sampah industri-rumahtangga, tanpa polusi
lanskap dengan panorama surgawi
Ada satu bangunan rumah di pulau itu:
dengan sarana dan fasilitas hidup lengkap-mewah
cadangan pangan mewah-beragam-melimpah
Sayangnya, ke luar pulau
tidak ada jalur komunikasi-informasi
tidak ada keterhubungan (connectedness)
Tinggal sendiri di rumah itu:
betapa singkat kemewahan dapat dinikmati
betapa cepat datang kebosanan yang meresahkan
betapa cepat datang kesepian yang menyiksa
karena tidak ada keterhubungan:
tertutuplah peluang hidup berbahagia
Kehadiaran alat komunikasi-informasi adalah nikmat:
kehadiarannya membuka keterhubungan
melepas belenggu bosan dan sepi
membuka peluang hidup berbahagia
Kehadiran pasangan lawan-jenis adalah nikmat lebih besar:
terbukalah peluang komunikasi manusiwai
terbukalah peluang curhat
terbukalah peluang menemukan obyek cinta
timbullah dorongan produksi, kreasi dan pro-kreasi
mulailah bangunan budaya dan peradaban
terbukalah keterhubungan lebih intens
terbukalah akses pada kebahagiaan
tetapi seberapa panjang jarak waktu dengan kebosanan?
Kehadiran anak-cucu adalah berkah:
kehadiran mereka mengutuhkan keterhubungan manusiawi
terbukalah peluang menemukan obyek komitmen dan cinta
terbukalah akses ke sumber kebahagiaan lebih besar
tetapi seberapa signifikan kehadian anak-cucu dapat
memenuhi dahaga cinta manusiawi?
Sulitkah memahami tetangga sebagai berkah lebih besar?
Bukankah kehadiran mereka meluaskan keterhubungan?
Bukankah mereka lebih me-riil-kan obyek komitmen-cinta?
pembuka simpul-simpul kebahagiaan lebih besar?
Kemampuan membuat hati anak tertawa-lepas-riang adalah anugerah
Anugrah itu lebih besar jika definisi anak diperluas
sehingga termasuk anak tetangga
Keterhubungan dengan anak-istri-tetangga adalah sumber anugrah
dan kebahagiaan
kata kuncinya adalah keterhubungan
semakin intens dan luas bidang keterhubungan,
semakin besar anugerah dan kebahagiaan
adalah mustahil cinta tanpa keterhubungan
adalah mustahil kebahagiaan tanpa cinta
Sulitkah memahami misteri cinta?
cinta adalah memberi bukan menerima
cinta adalah pemberian bukan tuntutan
cinta menyatukan bukan membedakan
intensitas cinta tidak berkurang karena meluasnya obyek
dalam hal cinta tidak berlaku rumus zero sum
obyek cinta adalah Keindahan
Seperti kata Plato: Keindahan adalah Realitas yang melimpah– splendid Reality
Tetapi keterhubungan dengan apa pun yang non-ilahiah tidak akan pernah memuaskah dahaga cinta manusiawi, tidak dapat mendatangkan kehahagiaan penuh
by design cinta manusiawi dirancang
untuk obyek cinta tak-terbatas
cinta manusiwai hanya dapat dipenuhi oleh
yang bersifat ilahiah
pemuasan cinta manusiawi hanya dimungkinkan
melalui keterhubungan dengan yang Mutlak
yang Maha Awal sumber segala
yang Maha Akhir tujuan kembali segala
Salat adalah keterhubungan dengan Ilahi
obyek hakiki cinta
Salat membuka jalur dan membaharui keterhubungan itu
Laa_Quwwata_illa_billah! ….. @