Haji yang Historis

Kata historis ini dalam tulisan ini digunakan sebagai padanan kata historic dalam Bahasa Inggris yang berarti bukan hanya menyatakan sesuatu yang terkait dengan sejarah atau masa lalu (historical), tetapi juga sesuatu yang signifikan dalam sejarah, sesuatu yang menandai perubahan selanjutnya dalam peristiwa kemanusiaan[1]. Istilah haji historis dalam pengertian seperti ini tampaknya hanya layak jika dinisbahkan kepada peristiwa haji yang berlangsung pada tahun ke-10 Hijriyyah.

Tanpa atribut keberhalaan

Kenapa haji pada tahun itu bersifat historis? Paling tidak karena tiga alasan. Pertama, haji ini berlangsung ketika Makah baru saja dibebaskan sehingga semua situs upacara haji sudah bersih dari atribut-atribut keberhalaan. Mengenai hal ini Ling mencatat:

Ibadah haji kali ini berbeda dengan yang dilakukan beratus-ratus tahun sebelumnya: seluruh jamaah akan menyembah hanya pada satu Tuhan, dan tidak ada lagi penyembah berhala yang akan mencemari Rumah Suci dengan mengadakan ritus-ritus kemusyrikan. Lima hari sebelum akhir bulan, Nabi keluar memimpin 30,000 laki-laki dan perempuan[2].

Dalam kontkes ini kita dapat memahami signifikansi lafa-lafal talbiyyah yang dikumandangkan dalam upacara haji dan sangat menekankan ajaran-ajaran tauhid: “…tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat hanyalah milik-Mu, juga semua kerajaan, tidak ada sekutu bagi-Mu”[3].

Haji perpisahan

Kedua, haji ini merupakan haji perpisahan (haji wada’) antara Rasul saw yang sangat mencintai umatnya dengan umat yang sangat mencintai rasulnya[4]. Kecintaan beliau kepada umatnya terungkap dari redaksi pembukaan khutbah beliau: “Wahai manusia!” Dengarkan kataku, agar aku terangkan kepadamu. Sesungguhnya aku tak tahu, barangkali aku tak akan bertemu dengan kamu sesudah tahunku ini, di tempat perhentian ini untuk selama-lamanya”[5]. Mengenai redaksi ini Natsir memberikan komentar yang bernada puitis[6]:

Dengan kata-kata yang sederhana yang memancarkan sinar kasih sayang dari lubuk hatinya, beliau berbicara kepada Ummatnya. Kepada Ummatnya yang telah dipupuknya, dipeliharanya, disusunnya selama 23 tahun, ibaratnya: dari benih kecil, kemudian memancarkan kembang yang perlahan-lahan, lambat laun bertambah kuat, sampai menjadi pohon rindang, “uratnya menghujam ke dalam bumi, puncaknya tinggi menjulang ke langit”, yakni Ummat yang sedikit hari lagi akan ditinggalkannya.

Redaksi pembukaan itu mungkin didorong oleh firasat beliau bahwa ajalnya tidak akan lama lagi sebagaimana dikemukakan kepada– tetapi ketika itu diminta dirahasiakan– puteri beliau, Fatimah RA: “Jibril membacakan Alquran kepadaku dan aku membacakan kepadanya sekali setahun, tetapi tahun ini ia membacakannya dua kali. Aku menduga waktuku telah tiba“[7]. Karena firasatnya ini maka Rasul saw tampaknya menilai haji kali ini istimewa sebagaimana terungkap dalam tiga peristiwa ini:

  • Isteri Abu Bakar RA yang melahirkan dalam rombongan haji—yang sebelumnya direncanakan dikembalikan ke Madinah– diminta oleh Rasul saw untuk mandi junub dan melanjutkan perjalanan haji sesuai rencana semula[8];
  • Aisyah RA isteri beliau yang berada dalam keadaan tidak suci dikirim keluar dari Tanah Suci, diminta bersuci di sana, kembali ke Mekah dan bertawaf[9]; dan
  • Haji kali ini yang dikampanyekan secara luas akan dipimpin langsung oleh Rasul saw memperoleh sambut Umat sehinga terkumpul, sebagaimana dicatat sebelumnya, sekitar 30,000 dari rombongan dari Madinah saja[10].

Umat juga tampaknya mengangap haji kali ini istimewa. Dengan semangat dan penuh perhatian mereka mencermati semua apa yang dikatakan, dilakukan dan disikapi oleh Rasul saw selama ritual haji berlangsung. Catatan mereka kelak menjadi sumber utama tata-cara haji yang kita kenal sampai saat ini. Dalam suatu kesempatan, sebagai ilustrasi, Rasul saw sempat mengherankan para jamaah dengan memperluas wilayah Tanah Suci untuk ritual haji sampai mencakup bukit Arafah, yang tampaknya tidak umum bagi penduduk Makah. Tapi beliau menekankan bahwa “hari ‘Arafah” sebagai bagian terpenting dari ibadah haji, dan Quraisy mengabaikan pelaksanaannya. Nabi menegaskan pula bahwa hari ‘Arafah adalah ritus haji masa lalu, dan kata-kata “napak tilas Ibrahim” sering kali beliau ucapkan”[11].

Isu Hak Azasi Manusia

Dari uraian terdahulu kita memiliki dua alasan kenapa haji wada’ itu bersifat historis. Tapi ada alasan ketiga yang perlu dikemukakan yaitu isi dari khutbah haji wada’ itu. Karena Rasul saw menganggap haji ini istimewa dan memilki firasat merupakan haji terakhir baginya, maka wajar bagi beliau jika merasa harus menyamaikan pesan-pesan risalah kenabian yang terpenting saja dalam kesempatan waktu khutbah yang singkat.

Ada banyak versi hadits mengenai isi khutbah haji wada’ ini tetapi semuanya sepakat bahwa beliau mengedepankan isu kehormaan jiwa dan harta sesama sebagai dalam khutbahnya. Dalam konteks ini apa yang dikemukakan Natsir layak disimak. Menurut beliau, penyampaian isu ini dikemukakan dalam bentuk dialog sebagai berikut[12]:

Rasul (R): “Wahai manusia! Dengar kataku, agar aku terangkan kepadamu. Sesungguhnya aku tak tahu, berangkali aku tak akan bertemu lagi denganmu sesudah tahun ini, di tempat perhentian ini untuk selamanya’. ‘Wahai orang banyak! Tahukah kamu, bulan apakah sekarang?”

Umat yang hadir (U): “Bulan haram”

R: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kamu, darah sesamamu, sampai kamu berjumpa dengan Tuhanmu, seperti haramnya bulan ini’. ‘Tahukah kamu daerah apakah ini?”

U: ‘Daerah Haram”

R: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kamu darah sesamamu dan harta sesamamu; sampai kamu berjumpa dengan Tuhanmu; seperti haramnya daerahmu ini”. “Tahukah kamu hari apakah sekarang?”

U: ‘Hari haram’

R: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepadamu darah sesamamu dan harta sesamamu sampai kamu berjumpa dengan Tuhanmu, seperti haramnya haramnya hari ini di ulanmu ini, di daerahmu ini. Sesungguhnya kamu akan berjumpa dengan Tuhanmu, dan akan ditanya akan segala perbuatanmu’. “Wahai! Apakah aku sudah sampaikan? (Alä hal balagtu)

U: ‘Allahumma, betul, sudah engkau sampiakan’

R: “Wahai Tuhanku! Persaksikanlah”.

Paling tidak ada dua catatan dari kutipan di atas. Pertama, potongan khutbah jelas sekali menegaskan dua isu hak azasi manusia (HAM) yang mendasar yaitu hak hidup dan hak kepemilikan barang pribadi. Kedua, Posisi penempatan teks Alä hal balagtu? dalam rangkaian dialog di atas mengisyaratkan bahwa Rasul ingin menegaskan bahwa dua isu HAM yang disebutkan sebelumnya harus merupakan bagian materi tablig dalam menyampaikan Risalah Islam.

Pencantuman isu HAM dalam khutbah ini tentu saja tidak hanya menggambarkan pandangan Rasul saw sebagai pribadi tetapi merupakan ajaran risalah Islam yang mendasar dan mungkin “terlalu maju” bagi zamannya. Kenapa terlalu maju? Karena kesadaran kolektif ras manusia secara keseluruhan mengenai isu HAM ini baru mengkristal 1.4 milenium berikutnya, dalam bentuk Pasal 3 dan Pasal 17 Deklarasi Hak Azasi Manusia PBB yang ditandatangi di Paris 10 Desember 1948:[13]:

Pasal 3: Setiap orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi (Everyone has the right to life, liberty and security of person.)

Pasal 17: (1) Setiap orang memiliki hak untuk memiliki kekayaan pribadi dan juga berhubungan dengan orang lain. (2) Tidak seorangpun boleh dirampas secara sewenang-wenang hak-miliknya. (Everyone has the right to own property alone as well as in association with others.
(2) No one shall be arbitrarily deprived of his property.)

Isi khutbah selanjutnya terkait degan masalah kehidupan sosial kemasyarakatan dalam arti luas: kewajiban menyempurnakan amanah, penghapusan riba, hak-hak dan kewajiban wanita (termasuk hak dan kewajiban timbal-balik suami-istri), ukhuwah islamiah dan persamaan hak dan martabat manusia, tanpa memandang bangsa dan warna kulit. dan kewajiban menyampaikan isi khutbah kepada orang lain.

Topik terakhir dari khutbah, kewajiban menyampaikan isi khutbah kepada orang lain, mengisyaratkan “timbang terima” (istilah Natsir) kewajiban menyampaikan risalah Islam kepada dari Rasul saw kepada “pewarisnya”; yakni, alim-ulama. Topik ini disampaikan bagian terakhir dari khutbah yang sekaligus juga merupakan pernyataan “pertanggung-jawaban” Rasul saw kepada Rabb-nya sebagaimana terungkap dalam kutipan ini[14]:

Ya Allah, sudahkah aku menyampaikan pesan ini kepada mereka?
 Kamu sekalian akan menemui Allah, maka setelah kepergianku nanti janganlah kamu menjadi sesat seperti sebagian kamu memukul tengkuk sebagian yang lain.
 Hendaklah mereka yang hadir dan mendengar khutbah ini menyampaikan kepada mereka yang tidak hadir. Mungkin nanti orang yang mendengar berita tentang khutbah ini lebih memahami daripada mereka yang mendengar langsung pada hari ini.
 Kalau kamu semua nanti akan ditanya tentang aku, maka apakah yang akan kamu katakan? Semua yang hadir bergemuruh menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan tentang risalah-risalah tuhanmu, engkau telah menunaikan amanah, dan telah memberikan nasehat”. Sambil menunjuk ke langit, Rasulullah kemudian bersabda, ”Ya Allah, saksikanlah pernyataan mereka ini, ya Allah saksikanlah pernyatan mereka ini, ya Allah saksikanlah pernyataan mereka ini”.

Dua kalimat yang digaris-bawahi dalam kutipan di atas layak dicermati. Pertama, jelas merupakan pernyataan “timbang-terima” penyampian Risalah. Kedua, mengisyaratkan bahwa generasi Umat pasca generasi beliau bisa jadi lebih baik dalam memahami inti Risalah Islam karena –seperti disinggung sebalumnya– ajaran Islam “terlalu maju” bagi zaman kelahirannya. Wallahu’alam….@

Sumber Gambar: Google

Referensi

[1] Seperti tertulis Kamus dalam Google, “To write historic instead of historical may imply a greater significance than is warranted: a historical lecture may simply tell about something that happened whereas a historic lecture would in some way change the course of human events”.

[2] Martin Ling (Abu Bakar Siraj al-Din), Muhmmad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, PT Serambi Ilmu Semesta, Cetkan ke-6 (2009).

[3] Lafal talbiyyah secara lengkap: “Labbaikallaahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, innal hamda wanni’mata laka wal mulka laa syariika laka” ( “Aku penuhi panggilan-Mu Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi panggilan-Mu,”).

[4] Usia hidup beliau, menurut kalander masehi, sekitar 61 tahun: lahir 571 dan (8 Juni) 632. Lihat Hitti (1961: 111-119), History of the Arab, Macmillan & Co Ltd.

[5] M. Natsir (2008), Fiqhud Da’wah, Cetakan ke-13, PT Abadi.

[6] Ibid, halaman 113.

[7] Ling, ibid, hal 628.

[8] Ling, ibid, halaman 628.

[9] Ling, ibid, halaman 634

[10] Ling, ibid, hal. 629

[11] Ling, ibid, halaman 631.

[12] Natsir, ibid, halaman 111-115.

[13] http://www.un.org/en/universal-declaration-human-rights/.

[14] https://penyegarhati.wordpress.com/khutbah/khutbah-haji-wada/

Advertisement