Pembangunan Manusia 2019

United Nations Development Programme (UNDP)[1] baru saja merilis Laporan Pembangunan Manusia 2019 (Human Development Report 2019, HDR19). Keluasan dan kedalaman isinya membuat laporan ini layak-baca bagi kalangan luas mulai dari politisi, akamedisi samapai statitisi. Temanya jelas: Inequalities in Human Development in the 21st Century. Kerangka analasisinya juga jelas: Beyond income, beyond averages, beyond today. Tulisan ini meninjau secara singkat tema dan kerangka analisis itu, juga memotret pringkat Indonesia dari sisi status pembangunan manusia.

Ketimpangan Pembangunan Manusia

Dalam laporan ini tema ketimpangan diberi keterangan waktu yaitu abad ke-21. Kenapa? Apakah UNDP ingin menyampaikan pesan bahwa isu ketimpangan akan bertahan selama abad ke-21? Mungkin. Yang jelas, UNDP melihat ketimpangan “ada di mana-mana” dan “semuanya prihatin”:

Inequalities. The evidence is everywhere. So is the concern. People across the world, of all political persuasions, increasingly believe that income inequality in their country should be reduced (HDR 2019:1)

Paling tidak ada tiga alasan lain untuk memprihatinkan ketimpangan. Pertama, 15 tahun pertama abad ke-21 tidak hanya menyaksikan peningkatan kemampuan dasar manusia, tetapi juga ketimpangan yang bertahan kalau tidak memburuk. Kedua, dalam bayangan krisis iklim dan serbuan perubahan teknologi, bentuk ketimpangan baru diduga kuat akan mewarnai abad ke-21. Ketiga, ketimpangan dalam pembangunan manusia dapat bertahan sepanjang hidup.

Kerangka Analisis

Melalui HDR19 UNDP menawarkan perspektif yang luas untuk memahami isu ketimpangan pembangunan manusia: melampaui pendapatan, melampaui rata-rata dan melampaui hari ini.

Melampaui Pendapatan

Perspektif ini dapat dilihat sebagai soft reminder bagi para pemangku kebijakan publik agar tidak terlalu terfokus pada pendapatan (ekonomi) dan mengabaikan komponen kunci pembangunan manusia. Argumennya kira-kira begini. Disparitas variabel non-ekonomi dapat menjelaskan atau melatarbelakangi terjadinya atau meluasnya disparitas pendapatan. Argumen lain, antara variabel ekonomi dan variabel non-ekonomi terdapat hubungan saling-pengaruh: di satu sisi, dibandingkan anak dari keluarga berada, anak dari keluarga miskin berpeluang lebih kecil memperoleh pendidikan tinggi dan pekerjaan layak; di sisi lain, karena pendidikan rendah, anak dari keluarga miskin berpeluang lebih kecil untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang layak.

Perspektif ini juga pengingat bahwa tujuan akhir pembangunan adalah manusia. Ini tidak berarti pembangunan ekonomi tidak penting; sebaliknya, justru pembangunan ekonomi merupakan sarana utama (principal means) bagi pembangunan ekonomi (HDR 2000).

Melampaui rata-rata

Yang ini pengingat bagi para akademisi mengenai keterbatasan analisis mereka karena terlalu menyederhanakan persoalan ketika berdebat mengenai ketimpangan, terlalu bergantung pada ukuran ringkasan ketimpangan, serta terlalu mengandalkan data yang tidak lengkap yang memberikan gambaran parsial dan bahkan terkadang menyesatkan. Dalam kaitannya dengan ketimpangan, generasi pengukuran baru, bahkan “revolusi metrik” diperlukan:

… assessing inequalities in human development demands a revolution in metrics. Good policies start with good measurement, and a new generation of inequalities requires a new generation of measurement. Clearer concepts tied to the challenges of current times, broader combinations of data sources, sharper analytical tools—all are needed.

Melampaui Hari Ini

Yang ini pengingat semua pihak agar tidak terlalu fokus pada persoalan “di sini” dan “hari ini” dan melupakan masa depan:

Much analysis focuses on the past or on the here and now. But a changing world requires considering what will shape inequality in the future. Existing—and new—forms of inequality will interact with major social, economic and environmental forces to determine the lives of today’s young people and their children.

Kutipan ini menyinggung masalah lingkungan dan nasib generasi muda dan anak-anak mereka di masa depan. Narasinya mungkin memadai bagi kalangan tua tetapi hampir dipastikan menuang kritik dari Greta Thunberg (pejuang isu perubahan iklim) dan teman-temannya yang menuntut action now! Selain itu dokumen SDGs juga mengingatkan kalangan “orang tua” bahwa: We can be the first generation to succeed in ending poverty; just as we may be the last to have a chance of saving the planet[2].

Peringkat Indonesia

Seperti laporan sebelumnya sejak 2000, laporan kali ini dilengkapi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mengurutkan peringkat setiap negara dalam hal pencapaian pembangunan manusia. Laporan ini menempatkan Norwegia di peringkat pertama (IPM tertinggi: 0.954) diikuti diikuti Swiss (0.945), Irlandia (0.942) dan Jerman (0.942), masing-masing di peringkat ke 2, 3 dan 4. Dari kawasan Asia Tenggara (ASEAN) tercantum Singapura (0.935) yang menempati peringkat ke-9 terbaik. Yang menarik untuk dicatat, Singapura sebenarnya unggul dari Norwegia dalam hal angka harapan hidup (=e0) dan GNI per kapita; Singapura hanya tertinggal dalam hal pendidikan.

Indonesia dengan IPM=0.707 berada dalam peringkat ke-111 dari 189 dalam kancah global dan ke-6 dari 10 dalam kancah ASEAN di bawah Filipina (0.712) dan di atas Vietnam (0.693). Seperti ditunjukkan oleh Tabel 1, Indonesia tertinggal dari Filipina hanya dalam hal rata-rata lama sekolah (MYS). Juga seperti yang ditunjukkan oleh tabel itu Indonesia sebenarnya tertinggal dari Vietnam dalam hal angka harapan hidup dan partisipasi sekolah (EYS).

Tabel 1: IPM dan Komponen IPM Negara-negara ASEAN 2018

Indonesia tertinggal dari Filipina hanya dalam hal rata-rata lama sekolah…  tertinggal dari Vietnam dalam hal angka harapan hidup rata-rata lama sekolah

Yang juga patut dicatat dari Tabel 1 adalah kolom 8 yang menyajikan selisih peringkat negara berdasarkan IPM dan GNI per capita (pendapatan nasional kasar per kapita). Untuk Indonesia angkanya minus 14, sementara untuk Vietnam plus 10; artinya, berdasarkan GNI per kapita peringkat Indonesia adalah ke-97 (=111-14) sementara peringkat Vietnam adalah ke-128 (=118+10). Dinyatakan secara agak berbeda, berbeda dengan Vietnam, peringkat Indonesia relatif lebih baik jika menggunakan ukuran GNI per capita  dibandingkan dengan jika  menggunakan ukuran IPM.

…. peringkat Indonesia relatif lebih baik jika menggunakan ukuran GNI per capita  (dibandingkan dengan jika menggunakan ukuran IPM).

Sebagai catatan akhir, dengan peringkat ke-97 (menurut GNI per capita), Indonesia kira-kira berada pada titik median; artinya, 50% negara di bawah peringkat Indonesia, 50% sisanya di atasnya. Dinyatakan secara berbeda, kinerja ekonomi Indonesia dapat dilihat sebagai summary index kinerja ekonomi global.

Wallahualam….@

[1] http://hdr.undp.org/sites/default/files/hdr2019.pdf. Sumber data dalam tulisan ini, kecuali disebutkan lain, berasal dari tautan itu.

[2] Untuk  memperoleh urian yang agak lebih menyeluruh mengenai isu lingkungan hidup dan perubahan iklim silakan kunjungi ini: https://uzairsuhaimi.blog/2019/06/24/perubahan-iklim-kenapa-kita-abai/

Advertisement

Kinerja Ekonomi Indonesia dalam ASEAN

Banyak indikator yang bisa digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi yang salah satunya adalah pendapatan nasional bruto (selanjutnya GNI; nama baru untuk GNP). Tulisan ini menggunakan indikator GNI per kapita (selanjutnya GNI-Cap) untuk menjawab dua pertanyaan ini: (1) Dari sisi kinerja ekonomi, bagaimana posisi Indonesia di tengah negara-negara ASEAN? dan (2) Bagaimana trennya selama periode 2000-2015?

GNI-Cap yang digunakan dalam tulisan ini diperoleh dari Bank Dunia yang menghitungnya menggunakan Metode Atlas. GNI dengan metode ini dipilih karena dua pertambangan. Pertama, dibandingkan GDP (atau PDB), GNI telah mengabaikan nilai produk perusahaan asing yang profitnya mengalir ke luar negeri sehingga lebih realistis dalam mengukur kinerja ekonomi suatu negara, ketimbang GDP. Kedua, ini serius dari sisi teknis statistik, Metode Atlas telah “menghaluskan” dua faktor yang umumnya menggangu perbandingan neraca nasional yaitu “fluktuasi harga dan nilai tukar”[1]:

To smooth fluctuations in prices and exchange rates, a special Atlas method of conversion is used by the World Bank. This applies a conversion factor that averages the exchange rate for a given year and the two preceding years, adjusted for differences in rates of inflation between the country, and through 2000, the G-5 countries (France, Germany, Japan, the United Kingdom, and the United States). From 2001, these countries include the Euro area, Japan, the United Kingdom, and the United States.

Variasi dan Ketimpangan

Tabel 1 memotret kinerja ekonomi 10 negara ASEAN selama 15 tahun pertama abad ke-21, 2000-2015, periode MDGs. Tabel itu menunjukkan besarnya variasi dan lebarnya kesenjangan kinerja ekonomi antar negara. Sebagai ilustrasi, rasio GNI-Cap Singapura/ Vietnam 2000 angka hampir mencapai 58. Angka ini mencerminkan sangat lebarnya variasi kinerja ekonomi negara-negara ASEAN. Ini Sebagai ilustrasi lain, rasio GNI-Cap Indonesia/Malaysia 2015 angkanya lebih dari 3. Ilustrasi kedua ini menegaskan lebarnya kesenjangan kinerja karena telah mengabaikan kinerja dari dua negara “raksasa” ASEAN yaitu Brunei dan Singapura.

Tabel 1: GNI-Cap 10 Negara ASEAN 2000-2015 (Metode Atlas) (Ribuan US$)

Tabel 1 juga memperlihatkan semua negara ASEAN mengalami peningkatan kinerja selama periode 2000-2015 tetapi dengan tiga catatan:

  • Brunei dan Indonesia mengalami sedikit penurunan kinerja dalam kurun 2013-15,
  • Penurunan serupa dialami Malaysia, Singapura dan Thailand, selama kurun 2014-15, dan
  • Penurunan agak drastis dialami Timor-Leste periode 2013-14, membaik dalam tahun berikutnya tetapi belum mencapai level 2013.

Singkatnya, pada tahun 2013 atau 2014, semua negara ASEAN mengalami sedikit penurunan kinerja ekonomi kecuali Kamboja, Laso, Filipina dan Vietnam.

Pada tahun 2013 atau 2014, semua negara ASEAN mengalami sedikit penurunan kinerja ekonomi kecuali Kamboja, Lao, Filipina dan Vietnam.

Kinerja ekonomi Singapura (SGP) dan Brunei (BRN) relatif sangat tinggi, terlalu tinggi untuk ASEAN secara keseluruhan. Hal ini tercermin dari, misalnya, angka rata-rata dengan GNP-Cap ASEAN 2015 yang mencapai angka lebih dari US$12,000 jika kedua negara itu diikutsertakan, dan hanya sedikit di atas US$ 3,000 jika keduanya diabaikan. Singkatnya, GNI-Cap kedua negara itu memberikan kesan berlebihan mengenai kinerja ekonomi ASEAN secara keseluruhan.

Tanpa Negara “Raksasa”

Gambaran kinerja ASEAN terkesan lebih realistis tanpa dua negara “raksasa” (SGP dan BRN) sebagaimana diilustrasikan oleh Grafik 1. Pada grafik ini, kinerja Indonesia dijadikan rujukan dengan cara memberikan nilai tetap 100 untuk setiap tahunnya. Ini berarti kinerja ekonomi Indonesia selama 2000-15 diasumsikan konstan relatif terhadap perubahan kinerja ekonomi negara lainnya yang diperbandingkan. Grafik itu menunjukkan paling tidak tiga hal:

  • Indonesia (IDN) selalu di atas Kamboja (KHM), Laos (LAO), Vietnam (VNW) dan Timor-Leste (TLS),
  • IDN selalu di bawah Malaysia (MYS) dan Thailand (THI) selalu di atas Indonesia, dan
  • Perkembangan kinerja ekonomi MYS dan THI relatif lebih lambat dibandingkan dengan kinerja IDN.

Grafik 1: Indeks GNI-Cap Negara-negara ASEAN (Indonesia=100)

Grafik itu juga mengisyaratkan kinerja IDN tidak akan melampaui kinerja MYS dalam beberapa dekade mendatang. Bagaimana dengan THI dan PHL? Grafik 2 menyajikan prediksi bahwa kinerja IDN tidak akan mampu  melampaui kinerja THI paling tidak sampai tahun 2030,  melampaui PHL mulai 2011 dan terkejar lagi di 2015. Sebagai catatan, koefisien regresi negatif pada Grafik 2 menegaskan penurunan kinerja THI relatif terhadap perkembangan kinerja IDN. Selain itu, dalam persamaan nilai x=0 untuk 2000, x=1 untuk 2011, dan seterusnya.

… kinerja IDN tidak akan mampu mengejar kinerja THI paling tidak sampai tahun 2030, melampaui PHL mulai  2011 tetapi terkejar lagi di 2015.

Grafik 2: Indeks GNI-Cap Indonesia, Filipina dan Thailand (Indonesia=100)

Pertanyaan: Apakah investasi infrastruktur di luar Jawa selama ini akan berdampak terhadap kinerja IDN sedemikian rupa sehingga mampu mengejar THI sebelum era SDGs berakhir?

Wallahualam...@

[1] https://databank.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD.ZG/1ff4a498/Popular-Indicators

Kinerja Ekonomi Indonesia: Catatan Kecil

Seperti orang, negara juga bisa miskin atau kaya. Tidak ada hubungan niscaya antara keduanya. Artinya, orang yang hidup di negara kaya belum tentu kaya. Terkait dengan hubungan ini seorang teman dari Singapore pernah bercerita:

Orang dari kalangan menengah Indonesia mampu pergi ke Singapura; orang dari kalangan menengah Singapura mampu pergi ke Jakarta. Tapi tujuan kepergian berbeda: yang pertama ke Singapura untuk mengeluarkan uang (berlibur, santai, belanja, dsb), yang lainnya ke Jakarta untuk mencari uang.

Tidak jelas apakah cerita itu hasil pengamatan sehari-hari (casual observation) atau berbasis-pengetahuan (knowledge-based). Apa pun kasusnya, bagi penulis cerita itu memberikan ilustrasi yang menarik karena kekayaan Singapore jauh di atas kekayaan Indonesia. Pada tahun 2017, misalnya, pendapatan per kapita untuk yang pertama sekitar 90,000 sementara untuk yang kedua hanya 12,000. Dalam hal ini indikatornya adalah Pendapatan Nasional Bruto per kapita atau GNI per capita, PPP (current international $)[1]. Label PPP (Purchasing Power Parity) menggaransi bahwa datanya dapat dibandingkan antar waktu dan antar negara atau kelompok negara. Untuk penyederhanaan, dalam tulisan ini indikator itu disingkat GNI/Cap.

Dengan menggunakan indikator ini sebagai ukuran kinerja ekonomi, kira-kira bagaimana kinerja ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Inilah pertanyaan kunci yang ingin dijawab oleh tulisan singkat ini. Sumber data diperoleh dari UN Data[2].

Indonesia dalam kancah global

Grafik 1 meringkas gambaran kinerja ekonomi Indonesia dalam kancah global. Grafik itu menyajikan tren GNI/Cap berdasarkan kelompok pendapatan dalam periode 1999-2017. Layak dicatat, di tahun 1999 kinerja politik dan ekonomi Indonesia tengah terpuruk sehingga jika dijadikan titik awal analisis maka logis jika berharap memperoleh gambaran perkembangan kinerja yang mencolok bagi Indonesia di tahap awal. Harapan itu tidak terungkap oleh grafik itu.

Grafik 1: GNI/Cap Indonesia dalam Lingkup Global

Beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari Grafik 1 adalah sebagai berikut:

  • Sepanjang periode 1999-2017, kinerja kelompok negara-negara berpendapatan tinggi (high income, HI) sangat terisolir dalam arti jauh di atas kelompok-kelompok berpendapatan lain, termasuk dengan “tetangga terdekatnya” yaitu kelompok negara-negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income, UM-I). Kinerja HI tahun 1999 kira-kira 1.5 kali kinerja UM-I tahun 2017.
  • Perkembangan kinerja HI relatif lebih cepat walaupun kecepatannya diimbangi oleh perkembangan kinerja UM-I.
  • Posisi Indonesia selalu terletak antara rata-rata UM-I dan LM- I selama periode perbandingan.
  • Perkembangan kinerja Indonesia lebih lambat dibandingkan dengan kinerja rata-rata UM-I. Indikasinya ini: di 1999 GNI/Cap Indonesia mendekati GNI/Cap rata-rata UM-I, tetapi sejalan dengan perjalanan waktu perbedaannya angkanya terus melebar .

Perkembangan kinerja Indonesia lebih lambat dibandingkan perkembangan kinerja rata-rata UM-I.

Indonesia dan negara  berpendapatan menengah

Bagaimana kinerja ekonomi Indonesia dalam kancah negara-negara berpendapat menengah (mencakup UM-I dan LM-I) dan bagaimana pula kecenderungannya antar waktu? Dalam konteks ini HI tidak diikutsertakan karena kinerjanya terlalu tinggi bagi negara sekelas Indonesia. Grafik 2 mengilustrasikan jawaban terhadap dua pertanyaan itu.

Grafik 2: GNI/Cap Indonesia dalam Lingkup Negara Berpendapatan Menengah

Banyak yang dapat disimak dari Grafik 2 tetapi dua hal berikut agaknya layak digarisbawahi:

  • Posisi Indonesia di antara UM-I dan LM-I patut diduga masih akan berlanjut paling tidak dalam 10 tahun mendatang (mulai dari 2017). Kenapa patut diduga? Karena model ekstrapolasi linear yang ditunjukkan oleh Grafik 2 menunjukkan keandalannya dilihat dari R2 yang hampir mendekati angka sempurna, 100%.
  • Kecepatan perbaikan kinerja Indonesia tinggi dari (kecepatan kinerja rata-rata) LM-I tetapi lebih rendah dari UM-1. Dari mana kita tahu ini? Dari angka koefisien regresi. Dari angka ini terlihat tidak ada peluang bagi Indonesia mengejar kinerja rata-rata UM-1.

Jika model itu dilanjutkan sampai ke tahun 2050 (tidak ditampilkan dalam grafik), maka kinerja Indonesia tahun 2050 kira-kira setara kinerja HI tahun 2000. Dengan kata lain, Indonesia tertinggal 50 tahun dari kinerja negara-negara berpendapatan tinggi.

…. Indonesia tertinggal 50 tahun dari kinerja negara-negara berpendapatan tinggi.

Indonesia dalam kancah negara-negara ASEAN

Grafik 3 mengilustrasikan gambaran kinerja Indonesia di antara negara-negara ASEAN. Dalam hal ini Brunei dan Singapura tidak diikutsertakan karena kinerja keduanya “beda kelas” atau terlalu tinggi dibandingkan dengan kinerja negara-negara lainnya di kawasan ini.

Patut dicatat, unit analisis pada Grafik 3 ini jelas yaitu negara. Kasusnya berbeda dengan dua grafik sebelumnya yang homogenitas unit analisisnya dapat dipertanyakan. Jelasnya, kita tidak tahu secara pasti bagaimana UN Data memperlakukan negara-negara yang “berubah status ” selama periode perbandingan.  Sebagai ilustrasi, bagaimana memperlakukan Zimbabwe dan Senegal yang akhir-akhir ini berubah status dari LI ke LM-I? Juga Sri Lanka dan Argentina yang berubah status dari LM-I ke UM-I? [3]

Kembali ke Grafik 3. Grafik itu menunjukkan secara jelas bahwa selama periode 2003-2017 posisi Indonesia selalu di atas Cambodia, Philippines, tetapi selalu di bawah Thailand apalagi Malaysia. (Urutan itu tidak berubah jika GNI/Cap/Atlas tahun 2018 yang digunakan sebagai indikator.)

Grafik 3: GNI/Cap Beberapa Negara ASEAN

… posisi Indonesia selalu di atas Cambodia, Philippines, tetapi selalu di bawah Thailand apalagi Malaysia..

*****

Catatan kecil dalam tulisan singkat ini bermuara pada satu pertanyaan besar: “Apakah rasionalitas di balik optimisme sebagian pihak yang meyakini Indonesia akan mampu mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain yang lebih maju dalam waktu dekat?” Konteksnya jelas: yang dikejar berlari lebih cepat, paling tidak demikianlah yang terjadi selama ini.

Wallahualam…@

[1] Besarnya perbedaan yang mencolok ini tidak berubah jika indikator yang digunakan adalah GNI per capita dengan metode lain yaitu Metode Atlas (World Bank).  Indikator ini untuk 2018 menghasilkan angka 56,770 untuk Singapore dan hanya 3,840 untuk Indonesia.

[2] http://data.un.org/Data.aspx?d=WDI&f=Indicator_Code%3ANY.GNP.PCAP.PP.CD

[3] https://datahelpdesk.worldbank.org/knowledgebase/articles/906519-world-bank-country-and-lending-groups

Luasnya Isu Kemiskinan

Dimensi dan isu kemiskinan itu luas. Luasnya isu ini, sebagian kecil, tercermin dalam lima tulisan berikut; sebagian kecil karena tidak mencakup isu-isu substantif yang pelik seperti kemiskinan-turunan (intergenrational poverty) dan nyaris-miskin (trancient poverty).

Tulisan-tulisan ini fosil dan jadul; fosil karena sudah berumur, jadul karena datanya ketinggalan zaman. Walaupun fosil mereka diharapkan tetap potensial sebagai sumber bahan bakar energi kreatif (bukankah sumber energi kita yang utama masih berbasis fosil?); soal jadul, monggo di-update!

Daftar Isi:

  1. Dimensi Kemiskinan

  2. Beberapa Isu Kemiskinan

  3. Kemiskinan Makro-Mikro

  4. Kemiskinan Kota

  5. Kesenjangan Tingkat Penduduk: Perbandingan Antar Provinsi

  6. Kemakmuran VS Keadilan:  Perbandingan Antar Provinsi

  7. Peta Kemiskinan

  8. “Poverty Mapping and GIS Application…” in Poverty Impact Analysis …. (Chapter 6, pages: 161-201)

 

Doa Personal

Mengomentari Aksi Demo “Damai” 4/11/16 Ustadz Mansur –dalam suatu acara TV talk show 5/11/16 yang lalu– menekankan arti penting doa, menjelang dan pasca demo. Mengenai relatif amannya demo ini beliau mengatakan kira-kira: “Siapa yang mampu mengendalikan pendemo yang jumlahnya mencapai jutaan (secara nasional) kecuali Dia yang menguasai hati setiap orang”.

Menurutnya, karena tidak ada satu pihak pun yang menghendaki kekacauan atau kerusuhan, beliau mengajak semua pihak, termasuk penganut agama lain, untuk memanjatkan doa bagi keamanan Indonesia yang hakikatnya “milik” Tuhan. Beliau sangat meyakini kekuatan doa dan penulis yakin beliau dalam hal ini dia tidak sendirian, apalagi dalam konteks Indonesia yang dikenal religious. Melalui tulisan ini penulis bermaksud berbagai pendapat mengenai doa, khususnya mengenai doa personal.

Mode Berdoa

Dalam bentuknya yang elementer, istilah doa merujuk pada doa personal (personal prayer); artinya, yang menjadi subyek doa adalah seorang individu sehingga yang digunakan adalah kata ganti orang pertama (Saya, Aku). Contoh doa personal: “Ya Allah, karuniakan kepadaku nikmat kesehatan dan keberkahan hidup”. Contoh lain adalah doa Nabi Musa menjelang ketemu Fir’aun (Thaha: 25-26): “… Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku”.

Pernyataan doa di atas berbeda, dengan, misalnya, doa yang dinarasikan dalam al-Fatihah (ayat 5): “Tunjukilah kami jalan yang lurus”. Di sini yang menjadi subyek doa bukan seorang individu manusia (such a man), melainkan manusia secara keseluruhan atau sebagai satu ras (man as such). Doa ini wajib dibaca dalam salat sehingga ketika salat sebenarnya kita meng-atas-nama-kan atau mewkili semua orang yang salat, bahkan seluruh umat manusia sebagai satu ras.

Salat, berbeda dengan doa personal, merupakan mode berdoa dengan tatacara yang sudah baku atau kanonik. Dalam konteks ini ada dua catatan yang layak dikemukakan:

  • Dalam Bahasa Inggris, istilah prayer berlaku untuk doa personal mapun salat. Karena tatacaranya yang baku (given, canonical), salat dapat dikatakan sebagai doa kanonik (canonical prayer).
  • Jika dalam doa personal masing-masing subyek doa secara bebas dapat menetukan cara dan merumuskan lafalnya; dalam doa kanonik tatacara dan lafal doa sudah baku, sudah ditentukan.

Siapa yang “mengarang” ketentuan baku itu dalam doa kanonik? Dalam konteks Islam Tuhan sendiri yang menjadi pengarangnya, didemonstrasikan oleh Jibril yang dapat dilihat secara sempurna oleh Rasul SAW[1] dan diterima oleh umat secara aklamatif.

Doa kanonik dianggap lebih sempurna dari pada doa personal karena individu manusia secara umum terlalu terbatas kepastiasnya untuk menyatakan keinginannya secara layak di hadapan Tuhan yang Maha Tinggi dan Maha Suci. Lebih dari itu, karena keterbatasan visinya, yang diminta dalam doa kita sama-sekali tidak mustahil malah merugikan kita.

Kita– di hadapan Tuhan, karena keterbatasan kita– bisa berperilaku seperti anak kecil kepada ibunya: merengek minta es krim padahal tengah menderita batuk-pilek, atau, ngotot minta permen atau coklat padahal sedang sakit gigi.

Di atas doa kanonik ada lagi mode doa yang dinilai lebih sempurna yaitu menyebut Nama Tuhan atau, mengunakan istilah agama, dzikir; yakni, melafalkan Nama Tuhan secara berulang-ulang, kira-kira seperti japa dalam tradisi Hindu[2].

Kenapa dzikir lebih sempurna? Karena menurut Schuon[3]: (1) Tuhan dan Nama Tuhan identik, dan (2) Tuhan Sendiri (God Himself) yang menyatakan atau melafalkan NamaNya (His Name) dalam diri-Nya (in Himself), dengan demikian, dalam keabadian dan di luar semua ciptaan. Itulah sebabnya keunikan-Nya dan firman-Nya yang tidak diciptakan (His unique and uncreated Word) merupakan bentuk dasar (purwa-rupa, prototype) dari dzikir dan bahkan, secara kurang langsung, dari semua mode “pertemuan” manusia dengan Tuhan (orison).

…..  keunikan-Nya dan firman-Nya yang tidak diciptakan merupakan bentuk dasar dari dzikir dan bahkan dari semua mode “pertemuan” manusia dengan Tuhan.

Dari uraian singkat di atas terlihat ada tiga cara atau mode berdoa: doa personal, doa kanonik, dan dzikir. Bagian selanjutnya dari tulisan ini, sebagaimana tercermin dari judul, membahas mode doa pertama, doa personal.

Arti Penting Doa Personal

Pernyataan bahwa doa personal kurang sempurna dibandingkan doa kanonik (apalagi dzikir) bukan berarti doa personal tidak penting bagi kita: kita tidak dapat berbuat apa-apa tanpa pertolongan Dia karena Dialah menentukan atau, menggunakan bahasa teologis, sebab efisien dari segalanya. Selain itu, keteguhan atau kebulatan hati (resolution) tidak ada artinya tanpa disertai doa, petisi atau atau permintaan tolong kepada-Nya.

Ketika berdoa kita, selaku individu, mengekspresikan secara langsung keinginan dan kehawatiran kita, harapan dan rasa syukur kita.

doa102

Yang sangat mendasar untuk dicatat adalah bahwa tujuan berdoa bukan hanya untuk mengamankan agar keinginan tertentu kita terkabul. Doa seyogyanya juga bertujuan untuk membersihkan jiwa kita karena fungsi doa antara lain melonggarkan simpul-simpul psikis (psichic knots) kita, melarutkan gumpalan-gumpalan yang memenuhi bawah-sadar kita, serta melepaskan berbagai macam racun yang tersembunyi dalam diri kita (bangga, iri, serakah, dan sebagainya).

Melalui doa kita mengemukakan di hadapan Tuhan kesulitan-kesulitan kita, kesalahan-kesalahan kita, tekanan-tekanan jiwa yang kita alami, dan semua ini, meminjam istilah Shuon[4] “mengandaikan jiwa yang rendah-hati dan jujur, dan penyingkapan ini, dilakukan di hadapan yang Absolut, perlu untuk membangun kembali keseimbangan dan memulihkan kedamaian; singkatnya, untuk membuka pintu rahmat bagi kita”.

Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, dalam doa personal, subyek doa dapat merumuskan lafal doa secara bebas. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar karena doa yang tulus perlu diawali permintaan ampun, serta disemangati paling tidak oleh oleh rasa syukur dan rasa pasrah.

  • Permintaan ampun (istigfar): bisa jadi yang kita minta bertentangan dengan kehendak Ilahiah (divine Will);
  • Rasa syukur (thankfulness): kita sadar bahwa setiap pengabulan permitaan yang diinginkan pada dasarnya merupakan rahmat (grace) yang bisa saja tidak kita peroleh; dan
  • Pasrah (tawakkal, resignation): kita perlu mengantisipasi doa yang tidak terkabul, atau lebih tepatnya, belum dikabulkan atau dikabulkan tetapi dalam bentuk lain yang lebih menguntungkan bagi kita.

 

Sikap Pasrah

Teks suci menegaskan bahwa Tuhan dekat dengan kita dan pasti mengabulkan doa personal kita (al-Baqarah: 186), Dia sangat lebih dekat urat leher nadi kita; dia sangat dekat dengan kita, lebih dekat bahka dari pada urat leher kita (Qaaf:16). Walaupun demikian, bisa jadi yang diminta dalam doa kita waktunya belum sesuai, atau perlu diganti dengan yang lebih baik. Bukankah orang tua yang bijak akan menunda mengabulkan permintaan anaknya yang merengek minta dibelikan balap padahal umurnya masih balita sampai umur si anak mencapai belasan, atau mengganti apa yang diminta dengan speda beroda tiga?

Terkait pendundaan pengabulan doa ini layak direnungkan wejangan ringkas dari syech sufi berikut ini[5]:

doa101

Jangan sampai tertundaya karunia Tuhan kepadamu setelah kau mengulang-ulang doamu, membuatmu merasa putus asa. Karena Dia menjamin pengabulan doa sesuai pilhan-Nya, bukan sesuai pilihanmu; pada waktu yang diinginkan-Nya, bukan pada waktu yang kau inginkan.

In spite of intense supplication, a delay in the timing of the Gift, let that not be the cause of your despairing. He has guaranteed you a response in what He chooses for you, not in what you choose for yourself, and at the time He desires, not the time you desire.

 Wallahu’alam …..@

[1] Konon, keungulan Rasul SAW dibandingkan rasul lain adalah kemampuannya untuk melihat. Ayat 1-18 Surat An-Najm hemat penulis mengilustrasikan keunggulan ini.

[2] http://www.hinduwebsite.com/hinduism/concepts/japa.asp.

[3] Schuon, Frithjof, Prayer Fashions Man, World Wisdom (2005:60). Nama muslim Schuon adalah   Isa Nur ad-Din, nama yang konon diberikan oleh Shaykh Ahmad al-Alawi, pendiri salah satu tarekat sufi di Aljazair pada tahun 1930-an.

[4] Schuon, ibid, halaman 58.

[5] Al-Hikam – Ibnu Attha’illah As-Sakandari, Wali Pustaka, 2016