United Nations Development Programme (UNDP)[1] baru saja merilis Laporan Pembangunan Manusia 2019 (Human Development Report 2019, HDR19). Keluasan dan kedalaman isinya membuat laporan ini layak-baca bagi kalangan luas mulai dari politisi, akamedisi samapai statitisi. Temanya jelas: Inequalities in Human Development in the 21st Century. Kerangka analasisinya juga jelas: Beyond income, beyond averages, beyond today. Tulisan ini meninjau secara singkat tema dan kerangka analisis itu, juga memotret pringkat Indonesia dari sisi status pembangunan manusia.
Ketimpangan Pembangunan Manusia
Dalam laporan ini tema ketimpangan diberi keterangan waktu yaitu abad ke-21. Kenapa? Apakah UNDP ingin menyampaikan pesan bahwa isu ketimpangan akan bertahan selama abad ke-21? Mungkin. Yang jelas, UNDP melihat ketimpangan “ada di mana-mana” dan “semuanya prihatin”:
Inequalities. The evidence is everywhere. So is the concern. People across the world, of all political persuasions, increasingly believe that income inequality in their country should be reduced (HDR 2019:1)
Paling tidak ada tiga alasan lain untuk memprihatinkan ketimpangan. Pertama, 15 tahun pertama abad ke-21 tidak hanya menyaksikan peningkatan kemampuan dasar manusia, tetapi juga ketimpangan yang bertahan kalau tidak memburuk. Kedua, dalam bayangan krisis iklim dan serbuan perubahan teknologi, bentuk ketimpangan baru diduga kuat akan mewarnai abad ke-21. Ketiga, ketimpangan dalam pembangunan manusia dapat bertahan sepanjang hidup.
Kerangka Analisis
Melalui HDR19 UNDP menawarkan perspektif yang luas untuk memahami isu ketimpangan pembangunan manusia: melampaui pendapatan, melampaui rata-rata dan melampaui hari ini.
Melampaui Pendapatan
Perspektif ini dapat dilihat sebagai soft reminder bagi para pemangku kebijakan publik agar tidak terlalu terfokus pada pendapatan (ekonomi) dan mengabaikan komponen kunci pembangunan manusia. Argumennya kira-kira begini. Disparitas variabel non-ekonomi dapat menjelaskan atau melatarbelakangi terjadinya atau meluasnya disparitas pendapatan. Argumen lain, antara variabel ekonomi dan variabel non-ekonomi terdapat hubungan saling-pengaruh: di satu sisi, dibandingkan anak dari keluarga berada, anak dari keluarga miskin berpeluang lebih kecil memperoleh pendidikan tinggi dan pekerjaan layak; di sisi lain, karena pendidikan rendah, anak dari keluarga miskin berpeluang lebih kecil untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang layak.
Perspektif ini juga pengingat bahwa tujuan akhir pembangunan adalah manusia. Ini tidak berarti pembangunan ekonomi tidak penting; sebaliknya, justru pembangunan ekonomi merupakan sarana utama (principal means) bagi pembangunan ekonomi (HDR 2000).
Melampaui rata-rata
Yang ini pengingat bagi para akademisi mengenai keterbatasan analisis mereka karena terlalu menyederhanakan persoalan ketika berdebat mengenai ketimpangan, terlalu bergantung pada ukuran ringkasan ketimpangan, serta terlalu mengandalkan data yang tidak lengkap yang memberikan gambaran parsial dan bahkan terkadang menyesatkan. Dalam kaitannya dengan ketimpangan, generasi pengukuran baru, bahkan “revolusi metrik” diperlukan:
… assessing inequalities in human development demands a revolution in metrics. Good policies start with good measurement, and a new generation of inequalities requires a new generation of measurement. Clearer concepts tied to the challenges of current times, broader combinations of data sources, sharper analytical tools—all are needed.
Melampaui Hari Ini
Yang ini pengingat semua pihak agar tidak terlalu fokus pada persoalan “di sini” dan “hari ini” dan melupakan masa depan:
Much analysis focuses on the past or on the here and now. But a changing world requires considering what will shape inequality in the future. Existing—and new—forms of inequality will interact with major social, economic and environmental forces to determine the lives of today’s young people and their children.
Kutipan ini menyinggung masalah lingkungan dan nasib generasi muda dan anak-anak mereka di masa depan. Narasinya mungkin memadai bagi kalangan tua tetapi hampir dipastikan menuang kritik dari Greta Thunberg (pejuang isu perubahan iklim) dan teman-temannya yang menuntut action now! Selain itu dokumen SDGs juga mengingatkan kalangan “orang tua” bahwa: We can be the first generation to succeed in ending poverty; just as we may be the last to have a chance of saving the planet[2].
Peringkat Indonesia
Seperti laporan sebelumnya sejak 2000, laporan kali ini dilengkapi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mengurutkan peringkat setiap negara dalam hal pencapaian pembangunan manusia. Laporan ini menempatkan Norwegia di peringkat pertama (IPM tertinggi: 0.954) diikuti diikuti Swiss (0.945), Irlandia (0.942) dan Jerman (0.942), masing-masing di peringkat ke 2, 3 dan 4. Dari kawasan Asia Tenggara (ASEAN) tercantum Singapura (0.935) yang menempati peringkat ke-9 terbaik. Yang menarik untuk dicatat, Singapura sebenarnya unggul dari Norwegia dalam hal angka harapan hidup (=e0) dan GNI per kapita; Singapura hanya tertinggal dalam hal pendidikan.
Indonesia dengan IPM=0.707 berada dalam peringkat ke-111 dari 189 dalam kancah global dan ke-6 dari 10 dalam kancah ASEAN di bawah Filipina (0.712) dan di atas Vietnam (0.693). Seperti ditunjukkan oleh Tabel 1, Indonesia tertinggal dari Filipina hanya dalam hal rata-rata lama sekolah (MYS). Juga seperti yang ditunjukkan oleh tabel itu Indonesia sebenarnya tertinggal dari Vietnam dalam hal angka harapan hidup dan partisipasi sekolah (EYS).
Tabel 1: IPM dan Komponen IPM Negara-negara ASEAN 2018
Indonesia tertinggal dari Filipina hanya dalam hal rata-rata lama sekolah… tertinggal dari Vietnam dalam hal angka harapan hidup rata-rata lama sekolah
Yang juga patut dicatat dari Tabel 1 adalah kolom 8 yang menyajikan selisih peringkat negara berdasarkan IPM dan GNI per capita (pendapatan nasional kasar per kapita). Untuk Indonesia angkanya minus 14, sementara untuk Vietnam plus 10; artinya, berdasarkan GNI per kapita peringkat Indonesia adalah ke-97 (=111-14) sementara peringkat Vietnam adalah ke-128 (=118+10). Dinyatakan secara agak berbeda, berbeda dengan Vietnam, peringkat Indonesia relatif lebih baik jika menggunakan ukuran GNI per capita dibandingkan dengan jika menggunakan ukuran IPM.
…. peringkat Indonesia relatif lebih baik jika menggunakan ukuran GNI per capita (dibandingkan dengan jika menggunakan ukuran IPM).
Sebagai catatan akhir, dengan peringkat ke-97 (menurut GNI per capita), Indonesia kira-kira berada pada titik median; artinya, 50% negara di bawah peringkat Indonesia, 50% sisanya di atasnya. Dinyatakan secara berbeda, kinerja ekonomi Indonesia dapat dilihat sebagai summary index kinerja ekonomi global.
Wallahualam….@
[1] http://hdr.undp.org/sites/default/files/hdr2019.pdf. Sumber data dalam tulisan ini, kecuali disebutkan lain, berasal dari tautan itu.
[2] Untuk memperoleh urian yang agak lebih menyeluruh mengenai isu lingkungan hidup dan perubahan iklim silakan kunjungi ini: https://uzairsuhaimi.blog/2019/06/24/perubahan-iklim-kenapa-kita-abai/