Penduduk Jawa Tempo Dulu

Konteks

Penduduk pulau Jawa pada tahun 2020 diduga berjumlah sekitar  152.4 juta jiwa. Angka ini lebih besar dari, misalnya, angka total penduduk dari gabungan lima negara ASEAN lainnya: Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei dan Timur Leste. Keseluruhan total penduduk lima negara ini sekitar 149.5 juta.

Trennya ke depan relatif mudah diperkirakan. Argumennya, Indonesia diberkahi data sensus penduduk setiap dekade sejak 1960-an yang merupakan sumber utama penghitungan angka proyeksi penduduk. Berkah lain, berbagai survei nasional yang dapat mendukung upaya perhitungan itu. Singkatnya, ada banyak “bukti keras” (hard evidence“) untuk meramal jumlah penduduk masa depan.

Pertanyaannya, bagaimana penduduk Jawa tempo dulu ketika bukti keras seperti itu belum tersedia. Tulisan ini bermaksud menyajikan potret besar dari penduduk yang dimaksud. Lebih penting dari itu, tulisan ini diharapkan dapat mendorong kajian lebih lanjut bidang yang “kurang seksi” ini.

Fokus pada Jawa

Yang menjadi perhatian tulisan ini adalah bidang kajian demografi sejarah (historical demography)[1] yang relatif masih terbelakang apalagi bagi Indonesia. Pengamatan penulis sejauh ini belum ada sarjana Indonesia yang menekuni bidang ini dan Prof. Widjoyo Nitisasatro mungkin satu-satunya kekecualian. Karyanya yang  berjudul Population Trends in Indonesia (1970) merupakan rujukan utama bagi yang meminati gambaran demografi Indonesia tempo dulu termasuk tulisan ini.

Dalam bukunya ini Widjoyo mempelajari secara cermat dan kritis sumber-sumber informasi yang relevan yang pada umumnya dihasilkan oleh para ahli-ahli sejarah Belanda. Selain itu, dari caranya menerapkan teknik demografi yang relatif canggih termasuk model penduduk stabil, beliau terkesan sebagai ahli demografi, bukan sekadar pemakai datanya. Tulisan ini mengulas secara sekilas tren penduduk Jawa dalam periode 1775-1900 utamanya berdasarkan karya Widjoyo itu[2].

Terhadap pertanyaan kenapa fokus pada Pulau Jawa jawabannya ada dua. Pertama, ulasan mencakup periode ketika NKRI belum ada. Kedua, data “Luar Jawa”, menurut para ahli termasuk Widjoyo, kurang dapat dipercaya. Latar belakangnya, para sejarawan Belanda yang lebih fokus pada penduduk Jawa dari pada Luar Jawa.

Periode 1775-1880

Total penduduk Jawa menjelang akhir abad ke-18, tepatnya 1775, diperkirakan sekitar 2.0 juta. Angka ini kira-kira setara dengan total penduduk Jakarta Selatan 2020. Angkanya meningkat per tahun sekitar 2.17% sehingga total penduduk mencapai angka 3.6 juta jiwa pada 1802. Ada tiga peristiwa sejarah penting yang layak-catat sekitar tahun itu:

  • Lima tahun sebelumnya (1770), Kapten James Cook memperbaiki kapalnya di Pulau Onrust (pantai Batavia) dalam upayanya mengelilingi dunia,
  • Tiga tahun setelahnya, lembaga pionir kegiatan ilmiah di Indonesia dan pendiri Museum Nasional di Jakarta, Royal Batavian Society of Arts and Sciences, didirikan oleh para intelektual Belanda (1778), dan
  • Enam tahun setelahnya Hamangkubuono 1 meninggal dunia.

Angka r=2.17% tergolong relatif tinggi. Hal ini tidak mustahil mengindikasikan membaiknya taraf kemakmuran penduduk selama periode 1775-1880.

Periode 1800-1850

Dalam 50 tahu berikutnya, angka pertumbuhan lebih rendah, r=2.01%. Tidak jelas mengenai alasan penurunan yang tergolong relatif signifikan ini. Yang dapat diketahui adalah beberapa catatan berikut:

  • 1800: VOC bangkrut dan dinasionalisasikan.
  • 1803: Fase pertama Perang Padri (sampai 1825)
  • 1808: Dandels, Gubernur Hindia Belanda, mulai membangun jalan raya besar di Jawa (Java Great Post Road),
  • 1814: Gunung Tambora (Sumbawa) meletus,
  • 1825: Perang Diponegoro (sampai 1830), dan
  • 1831: Perang Padri II (sampai 1838).

Periode 1850-1990

Tidak jelas bagaimana peristiwa-peristiwa sejarah itu terkait dengan penurunan angka pertumbuhan penduduk. Yang jelas, dengan r=2.01%, total penduduk Jawa 1850 menjadi 9.6 juta, kira-kira setara dengan 90% penduduk Jakarta 2020.

Angka pertumbuhan kembali meningkat menjadi 2.0% selama periode 1850-1900 sehingga total penduduk Jawa pada 1900 menjadi 28.7 juta atau sekitar 2.7 kali penduduk Jakarta 2020. Ada indikasi kenaikan pertumbuhan itu mencerminkan membaiknya taraf kemakmuran penduduk Jawa termasuk beberapa peristiwa sejarah berikut:

  • 1864: Pemerintah kolonial Belanda membangun pertama kali jaringan Kereta Api antara Semarang dan Tanggung(?),
  • 1868: Museum Nasional Indonesia secara resmi dibuka oleh pemerintah Hindia Belanda.
  • 1870: Menghapus secara resmi sistem kerja paksa (Cultivation System) dan mulainya “Kebijakan Liberal” dengan mederegulasi sistem pemerintahan Hindia Belanda,
  • 1873: Lahirnya tokoh pejuang wanita Kartini (Jepara),
  • 1888: Dibangunnya kapal KPM (Koninklijke Paketvaart-Maatschappij) untuk mendukung unifikasi dan pembangunan perekonomian kolonial, dan
  • 1894: LA Brandes, seorang ahli filologi Balanda, menemukan serta mengamankan naskah Nagarakretagama.

Pada 1900 tidak ada peristiwa khusus yang perlu dicatat di sini. Pada 1901 ada: pemerintah kolonial Belanda mengumumkan kebijakan Etis (Ethical Policy). Kebijakan ini krusial karena membuka jalan bagi putra-putra terbaik bangsa untuk memanfaatkan fasilitas perguruan tinggi yang pada gilirannya memampukan mereka menggalang kesadaran berbangsa bagi masyarakat luas.

*****

Tabel 1 meringkas tren penduduk Jawa dalam periode 1775-1900. Sebagai catatan,. Grafik 2 meringkas gambaran rata-rata pertumbuhan penduduk per tahun selama periode 1775-1900.

Grafik 1: Tren Penduduk Jawa 1775-1900

Sumber: Widjoyo (1973), dikutip atau diolah dari berbagai tabel.

Catatan: Angka 1880-1900 hasil hitungan penulis berdasarkan data rata-rata angka pertumbuhan sebagaimana dilaporkan Widjoyo (1973: Tabel 9).

Tabel 1: Rata-rata Angka Pertumbuhan Penduduk Jawa (%)

Sumber: Seperti sumber Grafik 1

******

Diskusi di atas mengilustrasikan bagaimana dinamika penduduk (bidang kajian demografi) diletakkan dalam konteks sejarah (bidang kajian sejarah). Ini menunjukkan adanya kaitan antara demografi dan ilmu sejarah. Seperti ditegaskan Pichat (1973:12) [3], demografi sebenarnya terkait erat dengan berbagai disiplin ilmu-ilmu yang lain. Sayangnya semangat berbagi antara demografer dan spesialis dari disiplin keilmuan lain masih sedikit, paling tidak menurut Pichat:

Despite demography’s close links with the other sciences, little interchanges take place between demographers and other science specialist. The result is that the letter are unaware of the full scope of their own particular branch in which their researchers would prove useful to demographers. It is to be hoped that this situation will change and that demographers and other scientists will be led to co-operative fully together.

Kutipan di atas jelas merefleksikan seruan kerja sama antara demogafer dengan spesialis bidang lain: ahli sejarah, sosiolog, ekonom, ahli lingkungan hidup, arkeolog, ahli kebijakan publik, fisiologi manusia, psikologi, ahli tata kota ruang, dan kriminolog. Ini daftar terbuka yang masih dapat diperpanjang. Seruan semacam ini kini lebih urgen karena semakin kompleksnya masyarakat global.

Wallahualam….. @

[1] Ulasan singkat mengenai cabag kajian ini dapat dilihat dalam Jean Bourgeois-Pichat, Main trends in demography (1973:57-61), George Allen & Unwin

[2] Kecuali disebutkan lain, sumber data berasal dari karya itu.

[3] Pichat (Ibid)