Menurut hadits Jibril –hadits yang disampaikan melalui dialog antara Rasul SAW dengan Malaikat Jibril dalam wujud manusia di hadapan para sahabat—salah satu dimensi agama adalah Iman. Hadits itu merinci enam pilar atau rukun yang masig-masing merupakan obyek imani (kalau boleh menggunakan istilah ini): (1) Allah SWT, (2) Malaikat-Nya, (3) Rasul-Nya, (4) Kitab-Nya, (5) Hari Akhirat, dan (6) Takdir. Hadits ini tidak dimaksudkan untuk mendefinsikan iman karena bagi para sahabat definisi itu tidak diperlukan. Mereka sudah memahami iman dan bahkan sudah menginternalisasikannya secara mantap berkat didikan langsung Rasul SAW. Bagi kita yang hidup belasan abad setelah era Rasul SAW yang penuh berkah itu, definisi Iman agaknya diperlukan agar mampu menginternalisasikan nilai-nilanya.
Sebenarnya, para ulama besar sudah banyak yang membahas definsi Iman serta mendokumentasikan dalam berbagai karya besar mereka. Sayangnya, kita pada umumnya (termasuk penulis) sulit memahami karya besar mereka karena kecenderungan bahasa kita sulit mengapresiasi secara memadai “rasa bahasa” yang mereka gunakan.
Esensi Iman
Pertanyaan mendasar ini bagi kita masih relavan: “Apakah esensi Iman?” Hemat penulis, Iman seacara esensial dapat dimaknai sebagai keyakinan jujur terhadap yang Mutlak (the Absolute, Atma) yang secara kategoris berbeda dengan yang relatif (relative, maya). Keyakinan terhadap yang Mutlak dimungkinkan karena inteligensi, satu fakultas ruhaniah yang melekat bagi manusia. Fakultas rohaniah ini mampu membedakan (to discern) yang Mutlak dari yang relatif. Tanpa kemampuan itu inteligensi bukan apa-apa.
Sebagai keyakinan jujur, Iman kira-kira pararel dengan faith dalam Bahasa Inggris (bukan believe), kata yang memiliki konotasi kepastian (certitude) dan kejujuran (veracity), kejujuran dalam pengertian intelektual, bukan moral. Hemat penulis, istilah ikhlas dalam bahasa agama merujuk pada keyakinan yang mengadung unsur kejujuran intelektual sebagaimana diisyaratkan dalam teks suci berikut:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِين٥
Padahal mereka diperintah menyembah Allah dengan ikhlas (al-Bayyinah:5)
Perlambang Wujud Mutlak
Iman, sebagai bentuk keyakinan jujur dan pasti, pada gilirannya melahirkan tiga macam kapasitas sensibilitas yang langka dalam peradaban kontemporer: (1) sensibilitas proporsionalitas (sense of proportionality) terhadap yang Mutlak, (2) sensibilitas mengenai kebutuhan berkah dari langit (grace), dan (3) sensibilitas mengenai yang suci (sense of sacred).
Sensibilitas proporsionalitas memicu pengakuan jujur (sebagai sikap intelektual, bukan moral) mengenai kekerdilan diri di hadapan yang Mutlak. Pengakuan jujur inilah yang (diharapkan) menyertai ucapan la haula wala quwwata illah billah (tidak ada daya tanpa campur tangan-Nya). Sensibilitas kebutuhan akan berkah dari langit melahirkan sikap rendah hati, serta meredam agitasi sifat arogansi dan keangkuhan. Sensibilitas mengenai yang suci melahirkan apresiasi atau sikap hormat terhadap segala sebagai simbol atau lambang wujud Mutlak:
- langit melambangkan kekokohan, kemahaluasan, keluasan rahmat dan dan berkah-Nya;
- bumi melambangkan kesabaran dan kebaikan-Nya;
- guntur, letusan gunung dan tsunami melambangkan amarah-Nya;
- keragaman flora, fauna, ras manusia –juga agama, melambangkan implikakasi alamiah atau logis dari multiplisitas ciptaan dari satu-satunya yang Esa; dan
- “aku”, tetangga, orang lain, melambangkan keunikan atau subyektivitas dari Subyek Murni (Pure Subject), satu-satunya yang berhak mengakatakan Aku dalam pengertian sebenarnya.
Dimenesi Islam dan Ihsan
Menurut Hadits Jibril, Iman bukan satu-satunya dimensi agama: agama harus mencakup dua dimensi lainnya yaitu Islam dan Ihsan. Dalam konteks ini Islam bukan merujuk pada Agama Islam secara keseluruhan (yang mencakup juga dimensi Iman dan Ihsan), melainkan dalam pengertian ketundukan keseluruhan diri terhadap Kehendak Ilahi (Divine Will) yang diwujudkan dalam hukum syari’at. Sikap ini hanya mungkin dicapai jika ada sensibilitas mengenai proporsionalitas terhadap yang Mutlak. Ketaatan terhadap hukum atau syrai’at agama hanya efektif jika didasari oleh sikap tunduk semacam ini.
Berbeda dengan dimensi Iman yang “menghidupaknan” inteligensi, dimensi Islam “menghidupkan” dan mengarahkan kehendak: untuk beriman inteligensi harus mengikuti kecenderungan alamiahnya, untuk ber-Islam kehendak harus “melawan” kecenderungan alami egoseismenya. Risalah Islam dimaksudkan untuk menghidupkan semua fakultas rohaniah manusia, termasuk inteligensi dan kehendak. Hemat penulis, inilah yang antara lain yang diisyaratkan oleh teks scuci berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ….. ٢٤
Wahai orang-orang yang beriman! Penuhuilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu… (al-Anfal: 24)
Bagaimana dengan Dimensi Ihsan[2]? Secara esensial Ihsan dapat didefinisikan sebagai segala upaya untuk menyempurnakan atau membuat indah semua apa yang merupakan keyakinan imani dan tindakan islami. Wujud ihsani yang penting adalah kapasitas dalam hal sensibilitas mengenai keindahan (sense of beauty), suatu kapasitas yang muncul karena daya tarik atau atraksi Dia yang Maha Indah (Jammal, Beautitude). Wujud ihsani yang juga penting adalah kapasitas memperluas diri (self-extension) atau kemampuan untuk berempati terhadap orang lain, sehingga melihat orang lain seperti dirinya sebagai sama-sama “citra” Tuhan. Dimensi Ihsan dalam pengertian esnsial inilah yang membuat suatu agama –termasuk Agama Islam– berwajah teduh.

Segitiga Sama Sisi
Terniari Iman, Islam dan Ihsan merupakan dimensi agama bagi Agama Islam. Dalam pengertian yang esensial, masing-masing dimensi itu, hemat penulis, berlaku juga bagi agama lain, paling tidak dalam lingkungan agama-agama samawi yang masih memiliki leluhur geneologis dan sumber pewahyuan yang sama. Jelasnya, Milah Ibrahim, Agama Yahudi dan Agama Nasrani, semuanya memiliki unsur-unsur keimanan, keislaman dan keihsanan sebagai dimensinya. Yang memberdakan adalah penekanan atau signifikansi relatif dari masing-masing dimensi. Dalam Milah Ibrahim yang ditekankan adalah dimensi Iman sehingga jika dianalogikan dengan segitiga maka konfigurasi milah Ibrahim dapat digambarkan sebagai segitiga siku dengan sudut siku pada dimensi Iman. Atas dasar ini Ibrahim AS dikenal sebagai tokoh monoteisme[3] yang diakui tidak hanya oleh Islam, tetapi juga oleh agama lain.
Dengan alasan-alasan yang secara manusiawi tidak sepenuhnya dapat dipahami, penekanan pada dimensi Iman dalam Milah Ibrahim bergeser pada dua agama samawi berikutnya: sudut siku pada Agama Yahudi merepresentasikan dimensi Islam (Hukum), sementara pada Agama Nasrani merepresentasikan Ihsan (Kebaikan).
Bagaimana dengan konfigurasi Agama Islam? Hemat penulis, konfigurasi Agama Islam tidak dapat digambarkan oleh segitiga siku (dengan merepresentasikan konfigurasi dengan penekanan pada dimensi agama tertentu), melainkan oleh segitiga sama-sisi(*). Apa artinya? Artinya, sejauh pemahaman penulis, Agama Islam menekankan keseimbangan tiga dimensi agama. Sebagai ilustrasi, dalam Agama Islam, perintah beriman (dimensi Iman) hampir selalu diikuti oleh perintah beramal shaleh (dimensi Islam). Dalam agama samawi terakhir ini, dimensi Ihsan sangat tegas: Surat al-Mâûn menegaskan bahwa kepedulian terhadap orang miskin (dimensi Ihsan) ibarat lakmus untuk membedakan seseorang tergolong beragama atau pendusta agama.
Wallâhu’alam.
[1] Tulisan ini merupakan bagian dari draft tulisan yang berjudul Seputar Hadis Jibril: Kandungan, Makna dan Implikasi yang tengah dipersiapkan.
[2] Dimensi agama yang ketiga ini relatif tidak populer. Lihathttps://uzairsuhaimi.blog/2009/10/31/ihsan-pilar-islam-yang-terabaikan-2/
Like this:
Like Loading...