Kata Lemah Lembut

Istilah kata lemah lembut di sini merujuk pada atau terjemahan dari istilah qurani  qaulaan layyina (قَوْلًۭا لَّيِّنًۭا). Sebagaimana akan segera dijelaskan, istilah qurani ini tidak diwadahi secara memadai dalam KBBI yang menggambarkan kata lemah lembut sebagai kata yang “baik hati (tidak pemarah dan sebagainya) ; peramah”. Tulisan ini menjelaskan kenapa kasusnya demikian. Sebelumnya, untuk memberikan konteks, berikut dijelaskan bagaimana istilah qurani ini digunakan dalam al-Quran.

Misi Mustahil

Qaulaan layyina digunakan Musa AS dan Harun AS ketika menghadapi Firaun, seorang tiran yang pada zamannya luar biasa berkuasa, kejam dan angkuh. Misi kedua nabi ini adalah menyelamatkan Bani Israil yang dalam ukuran normal manusiawi mustahil. Demikian angkuhnya tiran ini sehingga ia berani mengaku dirinya Tuhan (Rabb). Menyadari ‘kemustahilan’ misi ini Musa-Harun AS mengadukan kekhawatiran mereka (QS 20:45):

قَالَا رَبَّنَآ إِنَّنَا نَخَافُ أَن يَفْرُطَ عَلَيْنَآ أَوْ أَن يَطْغَىٰ

Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.

Gaya Al-Quran

Istilah qaulaan layyina muncul sekali dalam al-Quran yaitu dalam  QS(20:45). Secara kebahasaan (اللغةالعربية) terjemahan istilah ini adalah lemah lembut (sesuai dengan KBBI). Tetapi menurut retorika al-Quran (البلاغة القران) kata ini merujuk pada sesuatu yang jauh lebih luas dan mendalam. 

Lalu apa yang dimaksud dengan qaulaan layyina? Sesuai gayanya, al-Quran menggambarkan istilah ini secara tidak langsung melalui potongan dialog sebagaimana tercantum dalam QS (20:47-48):

فَأْتِيَاهُ فَقُولَآ إِنَّا رَسُولَا رَبِّكَ فَأَرْسِلْ مَعَنَا بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ وَلَا تُعَذِّبْهُمْ ۖ قَدْ جِئْنَـٰكَ بِـَٔايَةٍۢ مِّن رَّبِّكَ ۖ وَٱلسَّلَـٰمُ عَلَىٰ مَنِ ٱتَّبَعَ ٱلْهُدَىٰٓ

إِنَّا قَدْ أُوحِىَ إِلَيْنَآ أَنَّ ٱلْعَذَابَ عَلَىٰ مَن كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ

Maka pergilah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan katakanlah: “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk (47). 

Sungguh telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan) pada siapa pun yang mendustakan (ajaran agama yang kami bawa) dan berpaling (tidak memperdulikannya) (48).

Ada tiga catatan mengenai kutipan ayat di atas. Pertama, dalam gaya qaulaan layyina tujuan misi disampaikan secara gamblang dan tanpa kompromi: “… lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka”. Jadi, qaulaan layyina berbeda dengan gaya bahasa diplomatik, misalnya, yang kerapkali disampaikan secara tersmar bahkan tidak jarang disertai semacama konsesi (reduksi kebenaran).

Catatan kedua, dalam gaya ini kebenaran hakiki diungkapkan secara tegas walaupun caranya tetap lemah lembut. Hal ini terungkap dalam kata “tuhanmu” (رَبِّكَ) yang disebut dua kali dalam ayat ke-47. Kata ini seolah-olah ingin mengungkapkan dua pesan yang berbeda sekaligus: (1) Kami diutus Tuhanmu; jadi, Tuhan kita sebenarnya sama, dan (2) Kamu bukan Tuhan. Jadi, gaya ini berbeda, misalnya, dengan gaya bahasa politisi yang dinarasikan secara canggih dan menawan tetapi tidak jarang disertai dengan pengorbanan kebenaran. Alasan klasik: keamanan nasional, mengganggu ‘pencitraan’ atau akseptibilitas partai atau pejabat, atau merusak pundi-pundi pribadi atau kelompok.

Catatan ketiga, gaya ini mencirikan mode umum penyampaian risalah para rasul yaitu tabsyir atau menyampaikan khabar gembira’ (وَٱلسَّلَـٰمُ عَلَىٰ مَنِ ٱتَّبَعَ ٱلْهُدَىٰٓ) dan tandzir atau mengancam (أَنَّ ٱلْعَذَابَ عَلَىٰ مَن كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ)

Preskriptif

Ulama sepakat bahwa setiap istilah dan kata yang ditemui dalam al-Quran tidak hanya bersifat deskriptif tetapi yang lebih utama adalah perkeriptif. Jadi dialog Musa-Harun AS VS Firaun di atas tidak sekedar menyampaikan informasi tetapi bermaksud mendidik bahkan memerintahkan pembaca untuk berkata lemah lembut. Analog, ayat yang memberitakan bahwa Nabi SAW berhati lembut (QS 3:159) dan berakhlak agung (QS 68:4) jelas bukan sekadar kalimat berita. Pertanyaannya, seandainya penulis rajin bersalawat, tetapi berakhlaq tercela, berhati kejam dan bertuturkata kasar, layakkah ia disebut pengikut tradisi Nabi SAW?

Mengenai sifat perskritif al-Quran layak disimak pengamatan Fazlur Rahman dalam Major Theme of Al-Quran:

It must be constantly remembered that the Qu r’ān is not just descriptive but is primarily prescriptive. Both the content of its message and the power of the form in which it is conveyed are designed not so much to “inform” men in any ordinary sense of the word as to change their character. The psychological impact and the moral import of its statements, therefore, have a primary role. Phrases like “God has sealed their hearts, blinded their eyes, deafened them to truth” in the Qur’ān do have a descriptive meaning in terms of the psychological processes described earlier; but even more primarily in such contexts, they have a definite psychological intention: to change the ways of men in the right direction.” 

Harus selalu diingat bahwa Al-Qur’an tidak hanya deskriptif tetapi terutama preskriptif. Baik isi pesannya maupun kekuatan bentuk penyampaiannya tidak dirancang sedemikian rupa untuk “memberi tahu” manusia dalam arti kata yang biasa, melainkan untuk mengubah karakter mereka. Oleh karena itu, dampak psikologis dan makna moral dari pernyataan-pernyataannya memiliki peran utama. Frasa seperti “Tuhan telah menutup hati mereka, membutakan mata mereka, membutakan mereka terhadap kebenaran” dalam Al-Qur’an memang memiliki makna deskriptif dalam kaitannya dengan proses psikologis yang dijelaskan sebelumnya; tetapi bahkan lebih utama dalam konteks seperti itu, mereka memiliki makna psikologis yang pasti: untuk mengubah cara manusia ke arah yang benar.”,

Wallahualam….@

Salah Perintah

Normal kalau orang tua memerintahkan anaknya untuk rajin belajar. Agaknya juga normal jika perintah itu didorong oleh hasrat agar anaknya kelak meraih pendidikan tinggi sehingga pada waktunya berpenghasilan tinggi. Ungkapan  ini agaknya merefleksikan kepercayaan umum: yang tidak berpendidikan, kerja-berat,  gaji-ringan; yang berpendidikan, kerja-ringan gaji-berat. Istilah gaji-berat di sini menurut versi teman adalah gaji dua digit yang diterima anaknya yang baru saja selesai S1; maksudnya, di atas 10 jutaan per bulan.

Singkatnya, perintah rajin-belajar itu normal apalagi jika dikaitkan dengan kewajiban moral orang tua untuk tidak meninggalkan ‘generasi yang lemah’. Paling tidak demikianlah perspektif Islam sejauh yang penulis memahaminya.

Yang menarik untuk dicatat adalah bahwa yang diperintahkan orang tua kepada ‘ahlinya’ (termasuk anak) bukan rajin-belajar melainkan Salat serta bersabar dalam mendirikannya. Ini adalah perintah eksplisit dalam QS (20:132):

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْـَٔلُكَ رِزْقًۭا ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَٱلْعَـٰقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan Salat dan bersabarlah dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.

Untuk memaknai tafsir ayat ini tentu kita perlu bertanya kepada ahlinya. Walaupun demikian, yang terkesan jelas ayat ini mengaitkan Salat dengan rezeki. Entah bagaimana kaitan keduanya. Yang tampak masuk akal, orang yang rajin Salat (dibandingan dengan yang tidak Salat atau tidak rajin Salat, ceteris paribus):

      • cenderung lebih bersih (sehat) karena harus sering cuci tangan, cuci muka-hidung-telinga, cuci kaki, paling tidak lima kali sehari,
      • cenderung lebih disiplin karena Salat dilakukan menurut waktu tertentu (sesuai dengan waktu rotasi bumi), termasuk waktu sebelum terbit matahari (Subuh), dan
      • cenderung lebih mudah menyadari keberadaan pengatur rezeki yang sejati (Dia SWT).

Yang juga terkesan jelas dari ayat di atas adalah ketidakperluan terlalu menghawatirkan rezeki. Dalam perspektif Al-Quran, binatang melata saja dijamin rezekinya (QS 11:6); apalagi anak-anak Adam (QS 17:70):

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَـٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَـٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَـٰتِ وَفَضَّلْنَـٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍۢ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًۭا

Dan sungguh, Kami telah muliakan anak cucu Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.

Lalu, apakah perintah rajin-belajar kepada anak adalah salah perintah? Tentu tidak, sejauh tidak berlebihan. Meningkatnya angka bunuh diri anak-anak di Jepang yang baru-baru ini dilaporkan[1] bisa jadi karena tradisi orang tua disana yang terlalu berlebihan dalam memerintahkan anak-anakya untuk rajin-berlajar. Entahlah; upaya untuk memahami faktor penyebanya baru di survei. Yang pasti salah, dalam teranag QS(20:32), adalah mengabaikan perintah-Salat kepada anak, atau, melakukan pembiaran anaknya yang tidak disiplin Salat.

Wallahualam….. ….@

[1] https://www3.nhk.or.jp/nhkworld/en/news/backstories/1672/

 

Proporsi Ilahi

Mereka yang pernah belajar matematik umumnya mengenal deret Fibonacci ini: 0, 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, 34, 55, 89, 144, …Tiga titik terakhir menunjukkan deret itu dapat dilanjutkan secara tak-terhingga. Deret ini dapat dikatakan sederhana karena angka pada setiap suku mudah ditebak: perjumlahan dari dua suku sebelumnya. Dengan demikian, setelah 144 kita dapat menduga dua angka berikutnya adalah 233 dan 337.

Berdasarkan deret itu dapat disusun deret rasio dari dua suku yang berurutan (tentu saja hanya dapat dimulai dari suku-3) sebagai berikut:

1,000, 2,000, 1,667, 1,600, 1,625, 1,615, 1,619, 1,618, 1,618 dan 1,618

Yang menarik, tiga angka terakhir ini adalah 1,618 dan, ini lebih menarik, angka ini tidak berubah secara signifikan pada suku-suku berikutnya (sejauh menggunakan tiga digit di belakang koma). Sebagai contoh: 233/144=1,618, 377/233=1,618, dan 610/377=1,618.

Rasio ini telah ‘menyihir’ banyak matematikawan kaliber dunia sejak abad ke-5 SM. Mereka juga menyusun beragam formula; satu di anatarnya yang mungkin paling mudah dipahami adalah formula Binet: [1+sqrt(5)] /2. Rasio inilah yang dikenal sebagai ‘rasio emas’ oleh para metmatikawan dan ‘proporsi ilahi’ oleh para artis abad renaisans:

The Golden Ratio (phi = φ) is often called The Most Beautiful Number In The Universe. The reason φ is so extraordinary is because it can be visualized almost everywhere, starting from geometry to the human body itself! The Renaissance Artists called this “The Divine Proportion” or “The Golden Ratio”.

Alasan pemberian nama itu, seperti yang terlihat dalam kutipan, karena rasio itu hampir selalu termanfastasikan di manapun, termasuk, misalnya, di dunia flora (seperti rasio diameter dua kuncup bunga matahari yang berdekatan), organisme DNA, system matahari (solar system), seni-arsitektur, dan struktur tubuh manusia. Dalam seni-arsitektur,  misalnya, rasio emas digunakan secara ekstensif dalam bangunan The Great Pyramid of Giza, Notre Dame, The Vitruvian Man, The Last Supper, dan The Parthenon. Dalam struktur tubu manusia, sebagai misal lain, penggunaan ratio emas terlihat dalamkutipan berikut:

  • … jika Anda membagi panjang dari kepala sampai ujung kaki dengan panjang dari pusar sampai ujung kaki, Anda akan menemukan jawabannya cenderung mendekati φ..
  • Sekarang, bagi panjang dari bahu ke ujung jari telunjuk dengan panjang dari siku ke pergelangan tangan (dari lengan yang sama) dan Anda akan mendapatkan φ .!!
  • Bagilah panjang dari atas kepala hingga bahu dengan panjang dari atas kepala hingga dagu, φ lagi!
  • Bagian atas kepala sampai pusar dengan panjang antara kepala dan bahu…φ lagi!!!
  • Jarak antara pusar dan lutut, dengan jarak antara lutut dan bagian bawah kaki …. φ lagi!
  • Sekarang bagi panjang wajahmu dengan lebar wajah…… φ lagi!!
  • Lebar dua gigi atas Anda dengan tingginya, dan Anda akan mendapatkan φ lagi!
  • Bibir ke alis dibagi panjang hidung, φ lagi!

Secara singkat, struktur fisik bagian-bagian tubuh proprsional dengan proporsi ilahi (meminjam istila para artis era Renaissance), φ. Mungkin ini maksud ayat yang mengatakan manusia diciptakan dalam bentuk terbaik (QS 95:4, ahsanu taqwim) walaupun harkatnya dapat tergradasi “lebih rendah dari bintang ternak” (QS 7:179). Rasio ini mungkin isyarat sekaligus tantangan-Nya yang diwahyukan lebih dari 14 abad lalu bahwa: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami pada ufuk-ufuk dan pada diri mereka sendiri… “ (QS 41:153).

Wallahu’alam…. @

 

 

 

Barakah Basmalah

Kata kunci: kalimah berbarakah, akar kata basmalah, rahmat intrinsik dan ekstrinsik.

Ketika siap menyantap makanan nenek penulis dulu selalu meningatkan untuk membaca basmalah terlebih dahulu; untuk “ngalep berkah”, katanya. Wejangannya biasanya panjang dan mengulang-ngulang yang pada intinya bermaksud menegaskan bahwa basmalah adalah “mantra” yang harus dibaca sebelum memulai suatu kegiatan: berangkat sekolah, belajar dan bepergian. Karena bukan cucu yang baik penulis hampir selalu melupakan wejangnan itu. Baru akhir-akhir ini saja penulis mengingatnya dan berupaya ‘menguji’ apakah wejangan nenek itu berdasar. Tulisan ini mencatat sebagaian upaya itu dan disajikan di sini dengan harapan ada bisa ‘ngalep’ berkah.

Basmalah sebagai Kalimah Berbarakah

Istilah mantra yang digunakan nenek (sekolah sampai kelas 2 SR menurut pengakuannya) ternyata tidak terlalu keliru[1]. Ini mengagetkan. Yang mengagetkan lagi, kaitan antara basmalah dan keberkahan ternyata ada haditsnya[2]

كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِـ : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ فَهُوَ أَبْتَرُ

“Setiap perkara perkara (kehidupan) yang tidak dimulai dengan ‘bismillahirrahmanir rahiim’, amalan tersebut terputus berkahnya.” 

Komentar ulama mengenai hadits ini beragam. Sebagian mereka menilainya “lemah” (dhaif), sebagian “baik” (hasan) dan “sah” (shahih). Walaupun demikian, sebagian besar ulama agaknya memberikan penilaian ‘baik’ (termasuk Imam Nawawi dan Ibnu Hajar)[3]. Mengenai hal ini pendapat Syaikh shalih Al-Fauzan agaknya layak jadi rujukan ketika mengemukakan[4]:

والحكمة في البدء ببسم الله الرحمن الرحيم التبرك بها لأنها كلمة مباركة فإذا ذكرت في أول الكتاب أو في أول الرسالة تكونبركة عليه. أما الكتب أو الرسائل التي لا تبدأ ببسم الله الرحمن الرحيم فإنها تكون ناقصة لا خير فيها، ومن ناحية أخرى بسمالله الرحمن الرحيم فيها الاستعانة بالله جل وعلا

Hikmah yang tersimpan dalam mengawali perbuatan dengan bismillahirrahmaanirraahiim adalah demi mencari barakah dengan membacanya. Karena ucapan ini adalah kalimat berbarakah, sehingga apabila disebutkan di permulaan kitab atau di awal risalah maka hal itu akan membuahkan barakah baginya. Selain itu di dalamnya juga terdapat permohonan pertolongan kepada Allah ta’ala”.

Analisis Bahasa: Akar Kata Basmalah

Basmalah terdiri dari lima kata: bi, ismi, Allah, al-Rahman, dan al-Rahiem. Dua kata terakhir terkait dengan keberkahan. Akar kata keduanya adalah ر ح م. Ibn Faris (wafat 1005) merumuskan akar kata itu sebagai berikut

رحم (مقاييس اللغة) 
الراء والحاء والميم أصلٌ واحدٌ يدلُّ على الرّقّة والعطف والرأفة.

(Sebagai referensi lihat Grand Quran Academic Study Circle.)

Rumusan ini menggambarkan akar kata itu terkait dengan kelembutan (gentility, gentleness, tenderness, softness), kasih sayang (affection), kebaikan dan belas kasih (kindnsess and mercy), pengampunan (celemency) dan keibuan (motherliness). Keluasan makna itu agaknya membuat kata رحم  sangat sulit (jika mungkin) dicarikan padananya dalam bahasa non-Arab.

Al-Rahman dan al-Rahiem pada umumnya diterjemahkan sebagai ‘yang Maha Pengasih” dan ‘Maha Penyayang”. Terjemahan ini sesuai dengan rumusan di atas. Walaupun demikian, terjemahan itu terkesan kurang ‘menggigit’ bahkan mungkin dapat dikatakan mengisyaratkan kemiskinan kosa kata Bahasa Indonesia ketika mengalih-bahasakan bahasa lain khsusnya al-Quran. 

Dalam konteks ini, kosa kata Bahasa Inggris agaknya lebih kaya dari Bahasa Indonesia. Sebagai ilustrasi, Grand menyebut al-Rahman sebagai “Nama Pribadi Allah SWT” (“Personal Name of Allah the Exalted”) sementara al-Rahien sebagai “Sumber belas kasih, kasih yang menguasai semua keputusan-Nya” (“The fountain of mercy—mercy overarching all His decisions”). Yang terkhir jelas lebih mendalam dari sekadar ‘Maha Penyayang’.

Rahmat Intrinsik dan Rahmat Ekstrinsik

Sudut pandang yang berbeda dikemukakan oleh Schuon dalam beberapa tulisannya termasuk “Understanding Islam” dan “Al-Quran”. Baginya, al-Rahman dan al-Rahiem berasal dari kata rahmah. Bedanya, yang pertama merupakan Rahmat intrinsik, yang kedua Rahmat ekstrinsik. Agar jelas, berikut disajikan pendapatnya sebagaimana dikutip oleh Velodia (tanpa tahun)[5]:

Rahman / Rahim: The divine Names Rahman and Rahim, both derived from the word Rahmah (“Mercy”), mean, the former the intrinsic Mercy of God and the latter His extrinsic Mercy; thus the former indicates an infinite quality and the latter a limitless manifestation of that quality. The words could also be respectively translated as “Creator through Love” and “Savior through Mercy,” or drawing inspiration from a hadith, we could comment on them thus: Ar-Rahman is the Creator of the world inasmuch as a priori and once and for all He has furnished the elements of well-being of this lower world, while Ar-Rahim is the Savior of men inasmuch as He confers on them the beatitude of the world beyond, or inasmuch as He gives them here below the seeds of that other world or dispenses its benefits . . . The Name Rahman is like a sky full of light; the Name Rahim is like a warm ray coming from the sky and giving life to man. [UI, The Quran].

Rahman / Rahim: Nama Ilahi Rahman dan Rahim, keduanya berasal dari kata Rahmah (“Mercy”), yang berarti, yang pertama adalah Rahmat intrinsik Tuhan dan yang terakhir Rahmat ekstrinsik; dengan demikian yang pertama menunjukkan kualitas yang tidak terbatas dan yang terakhir merupakan manifestasi tanpa batas dari kualitas itu. Kata-kata itu juga bisa masing-masing diterjemahkan sebagai Pencipta melalui Cinta dan “Penyelamat melalui Rahmat,” atau mengambil inspirasi dari sebuah Hadits, kita bisa berkomentar sebagai berikut: Ar-Rahman adalah Pencipta dunia karena apriori dan sekali dan untuk semua Dia telah melengkapi unsur-unsur kesejahteraan dari dunia yang lebih rendah ini, sementara Ar-Rahim adalah Penyelamat manusia karena Dia menganugerahkan kepada mereka kebahagiaan dunia setelahnya, atau sejauh Dia memberi mereka di sini di bawah benih itu dunia lain atau membagikan manfaatnya. . . Nama Rahman seperti langit yang penuh cahaya; Nama Rahim seperti sinar hangat yang datang dari langit dan memberi kehidupan bagi manusia. [UI, Alquran].

Kutipan itu menggambarkan kedalaman makna Rahman-Rahim, juga kedalaman pemahaman Schuon mengenai dua kata ini. Garis bawah adalah tambahan penulis tulisan ini yang melihat kedalaman kandungan maknanya sehingga layak direnungkan lebih lanjut.

Wallahualam…. @


[1] Menurut Cambridge Content Dictionary,  mantra adalah “any word or expression used repeatedly: “Moderate” is the new Republican mantra … “

[2] HR. Al-Khatib dalam Al-Jami’, dari jalur Ar-Rahawai dalam Al-Arba’in, As-Subki dalam tabaqathnya.

[3] Mengenai penilaian ini lihat https://rumaysho.com/14810-mulailah-dengan-bismillah.html.

[4] Ibid

[5] Glossary of Terms Used by Fritjhof Schuon.