Covid-19: Indonesia dalam Dunia

Dalam seminggu terakhir (cases in the last 7 days) kasus global infeksi Covid-19 yang terkonfirmasi dilaporkan sekitar 2.4 juta kasus. Ini laporan mingguan yang jika dibandingkan dengan laporan harian lebih cermat karena dampak ketepatan waktu laporan diduga sudah sangat berkurang. Karena alasan yang sama, perubahan angka mingguan lebih cermat dari perubahan angka harian untuk menggambarkan perubahan keadaan kasus Covid-19 terkini.

Dalam seminggu terakhir sebelumnya (cases in the preceding 7 days) secara global terkonfirmasi sekitar 2.6 juta kasus. Ini berarti dalam dua minggu terakhir terjadi kenaikan kasus (weekly case % change) sekitar 3% (dari 2.4 juta ke 2.6 juta). Pertanyaannya, bagaimana dengan Indonesia?

Data worldmeter per 2 Juli 2021 menunjukkan bahwa dalam seminggu terakhir sekitar 46% kasus global merupakan sumbangan lima negara “terbesar” yaitu Brasil, India, Kolombia, Rusia dan Indonesia. Jadi, Indonesia termasuk lima negara terbesar dalam konteks sumbangannya terhadap kasus Covid-19 global.

Berbeda situasi global yang mengalami kenaikan kasus mingguan sekitar 3% (seperti disinggung sebelumnya), situasi di Brasil dan India mengalami penurunan kasus mingguan yang lumayan besar masing-masing 3% dan 14%.

Indonesia, seperti halnya Kolombia dan Rusia, mengalami kenaikan kasus. Yang layak catat, kenaikan bagi Indonesia mencapai 44%, jauh lebih tinggi dari angka kenaikan Kolombia (5%) maupun Rusia (20%). Singkatnya, di antara lima negeri terbesar Indonesia adalah ‘juara’ dalam hal kecepatan penambahan kasus mingguan. Tabel 1 menyajikan angka-angka yang dimaksud.

Sekadar untuk ‘menghibur diri’, Indonesia masih ‘dikalahkan’ Spanyol (+80%), Inggris (70%), Tunisia (69%), dan Bangladesh (53%). (Tidak disajikan dalam tabel.)

Table: Covid-19 Cases in 5 Largest Countries

Cases in the last 7 days Case in the preceding 7 days Change (%)
(1) (2) (3) (4)=[(2)-(3)]/(3)
World 2,642,497 2,571,772 3
Brazil 378,821 539,442 -30
India 320,520 371,453 -14
Colombia 209,284 200,189 5
Russia 149,447 124,648 20
Indonesia 149,113 103,719 44
Subtotal 1,207,185 1,339,451 -10
% subtotal 46 52

Sumber: Worldmeter

Indeks Kemajuan Sosial: Tinjauan Umum

Kata kunci: Dimensi IKS, pertanyaan kunci, metode dan hasil perhitungan, hubungan antara IKS dan GDP Per Kapita, Kapasitas Indonesia.

Setiap negara tentu mengupayakan agar warganya maju secara sosial. Upaya ini berarti, tetapi tidak terbatas pada, pemenuhan kebutuhan dasar akan sandang-pangan-papan-pendidikan-kesehatan semua warga, juga anak-cucu-cicit mereka yang masih hidup maupun yang akan hidup di abad-abad mandatang. Inilah upaya ke arah kebajikan yang dikenal secara universal (Arab: ma’ruf). Masalahnya, kapasitas negara untuk mewujudkan semua itu berbeda. Jadi pertanyannya bagaimana mengukur kapasitas itu. Indeks Kemajuan Sosial (IKS) atau Social Progress Index, indeks komposit yang dikembangkan oleh Social Progress Initiative sekitar satu dekade yang lalu, dimaksudkan untuk mengukur kapasitas itu tapi bukan satu-satunya[1]. Tulisan berdurasi-baca enam menit ini meninjau secara umum indeks komposit ini, menelisik anatomi dan metodologinya secara sepintas, serta mengevaluasi hasil perhitungannya secara sederhana. 

Anatomi IKS

Substansi IKS mencakup tiga dimensi sosial-lingkungan yang mendasar bagi kemanusiaan: kebutuhan dasar, pondasi kesejahteraan dan peluang untuk maju. 

  • Kebutuhan dasar (basic needs): memenuhi kebutuhan dasar seluruh warga bangsa,
  • Fondasi kesejahteraan (foundation of wellbeing): membangun pondasi yang memungkinkan individu dan masyarakat meningkatkan dan mempertahankan taraf kesejahteraan, dan
  • Peluang (opportunity): menciptakan peluang bagi setiap individu warga agar mampu mencapai tingkat  potensi tertingginya.

Tiga dimensi IKS itu pada dasarnya mencakup semua sasaran SDG (Sutainable Development Goals) sehingga skor IKS dapat mengukur tingkat capaian SDG suatu negara. Paling tidak demikianlah klaim pihak penyusun IKS. 

The Social Progress Index captures outcomes related to all 17 Sustainable Development Goals in a simple but rigorous framework designed for aggregation, making it an invaluable proxy measure of SDG performance.

Masing-masing dimensi IKS dibangun berdasarkan empat komponen sehingga IKS secara keseluruhan mencakup 12 komponen. Masing-masing komponen ini dihitung berdasarkan 3-5 indikator sehingga IKS secara keseluruhan mencakup 50 indikator. Singkatnya, anatomi IKS terdiri dari 3 dimensi, 12 komponen dan 50 indikator[2].

IKS hanya mencakup indikator outcome (bukan input) dalam bidang sosial dan lingkungan (tanpa indikator ekonomi) yang dipilih sedemikian rupa sehingga dapat ditindaklanjuti dalam program aksi (prinsip actionability), serta relevan bagi semua negara (prinsip inclusivity). Demikianlah kira-kira prinsip IKS menurut klaim Social Progress Initiative.

Pertanyaan Kunci

Gambar besar mengenai kemajuan sosial yang ingin direfleksikan oleh IKS tercermin dari pertanyaan kunci yang ingin dijawab oleh setiap komponen dari masing-masing dimensi. Pertanyaan kunci itu memandu penyusunan indikator yang relevan. Daftar pertanyaan kunci dari dimensi pertama, Kebutuhan Dasar, adalah sebagai berikut:

  1. Apakah penduduk memiliki makanan yang cukup dan dapat mengakses pelayanan kesehatan dasar?
  2. Apakah penduduk dapat mengakses air minum yang bersih-sehat tanpa risiko dampak kontaminasi?
  3. Apakah penduduk bertempat tinggal dalam bangunan yang dilengkapi dengan utilitas dasar layaknya suatu bangunan tempat tinggal?
  4. Apakah penduduk dapat menikmati rasa aman?[3]

Dari pertanyaan pertama dihasilkan lima indikator yang dua di antaranya adalah gizi buruk dan kematian karena penyakit infeksi. Daftar pertanyaan komponen untuk dua dimensi IKS lainnya dapat dilihat dalam Kotak 1:

Metode Penghitungan

Metode penghitungan IKS relatif sederhana dan pada dasarnya terdiri dari tiga tahapan. Tahapan pertama, menghitung indeks komponen untuk masing-masing dimensi IKS. Indeks komponen ini dihitung berdasarkan hasil perhitungan rata-rata tertimbang indikator pembentuk masing-masing komponen. Tahapan kedua, menghitung indeks dimensi berdasarkan hasil perhitungan rata-rata sederhana indeks komponen. Tahapan akhir, menghitung IKS yang tidak lain dari pada rata-rata sederhana indeks dimensi. Penjelasan penghitungan IKS secara lebih rinci dapat dilihat pada Kotak 2.

Hasil Perhitungan

Skor IKS secara teoretis  terletak antara 0 sampai 100: 0 menujukan kapasitas paling rendah, 100 paling sempurna. Hasil perhitungan untuk 2020 menunjukkan angka terendah adalah 31.06 untuk Sudan Selatan dan 92.73 untuk Norwegia. Jadi tidak ada negara yang skornya di bawah 30 dan di atas 93. Negara-negara lain, terletak dalam interval angka itu yang dikelompokkan ke dalam enam tingkat (tier) pendapatan yang diukur dengan GDP per capita PPP.

Diukur dengan IKS, kemajuan sosial dunia mengalami perbaikan tetapi lambat dan tidak merata. Menurut laporan Social Progress Initiative, dalam kurun 2011-2020: 

  • secara rata-rata skor IKS meningkat 3.61 poin persen dari 60.63 ke 64.24;
  • sebanyak 155 atau 95% negara mengalami kenaikan hanya satu poin;
  • ada tiga negara (2%) mengalami penurunan: Brazil, Hongaria dan Amerika Serikat (faktor Trump?); dan
  • sebanyak 69 (42%) negara yang mengalami perbaikan skor mengalami kenaikan skor 5 poin persen atau lebih.

Sebagaimana dilaporkan Green dkk dari Social Progress Initiative Perbaikan, skor IKS global kebanyakan terjadi dalam hal Akses ke Informasi dan Komunikasi, Akses ke Pendidikan Tinggi, Perumahan, dan akses ke Air serta Sanitasi:

Since 2011 the world score has improved on eight components: Access to Information and Communications (+21.61 point change), Access to Advanced Education (+7.45), Shelter (6.10), Water and Sanitation (+5.57), Access to Basic Knowledge (+4.18), Nutrition and Basic Medical Care (+4.20), Personal Freedom and Choice (+2.32), and Health and Wellness (+1.55).

Berdasarkan sumber yang sama, skor IKS mengalami penurunan dari sisi HAM dan Kualitas Lingkungan:

The world is declining on Personal Rights (-6.42), Inclusiveness (-3.48) and stagnating on Personal Safety (-0.61) and Environmental Quality (value). The world score on Personal Rights has declined by 4.17 points since 2011.

IKS dan GDP Per Kapita

Seperti disinggung sebelumnya, IKS fokus pada indikator sosial dan lingkungan dan tidak memasukkan indikator ekonomi. Di satu sisi hal ini terkesan menunjukkan kelemahan IKS dari sisi cakupan. Di sisi lain hal ini justru menunjukkan kekuatan focus IKS. Ada alasan lain yang menunjukkan kekauatan IKS: hubungan antara indikator sosial-lingkungan ternyata positif. Ini berarti, dari sisi teknis indeksing komposit, memasukkan indikator ekonomi memang tidak diperlukan karena merupakan pengulangan yang tidak perlu.

Grafik 1 menunjukkan hubungan fungsional antara skor IKS dan tingkat ekonomi (diukur dengan GDP per capita PPP). Seperti tampak pada grafik itu, banyak negara yang kuat secara ekonomi tetapi memiliki skor IKS yang relatif rendah. Termasuk dalam kelompok negara ini adalah Sudan Selatan, Guinea, Turki, Arab Saudi, Qatar, Singapura, Luxemburg, dan Amerika Serikat (AS). Relatif rendahnya IKS untuk negara seperti Sudan Selatan dapat dimaklumi mengingat rendahnya tingkat ekonomi negara ini. Tetapi bagi negara seperti Qatar (IKS=sekitar 70) dengan GDP per kapita hampir $100,000 PPP seyogianya memiliki skor IKS lebih tinggi (IKS> 95). Oleh Social Progress Initiative, kelompok negara ini (ada 35 negara) disebut underperformers (on social progress relative to their incomes).

Grafik 1 juga mebunjukkan kasus negara dengan IKS yang tinggi relatif terhadap tingakt ekonominya. Termasuk dalam kelompok negara ini adalah Norwegia, New Zealand, Kyrgystan dan Costa Rica. Yang terakhir ini skor IKS-nya setara dengan AS padahal GDP/kapitanya hanya sekitar sepertiga GDP/kapita AS. Kelompok negara seperti Costa Rica ini (ada 13 negara) disebut over-performers.

Terkait dengan Grafik 1, Green dkk melaporkan tiga poin temuan kunci:

    1. There is a positive and strong relationship between the Social Progress Index and GDP per capita.
    2. The relationship between economic development and social progress is not linear. At lower income levels, small differences in GDP per capita are associated with large improvements in social progress. As countries reach high levels of income, however, the rate of change slows.
    3. GDP per capita does not completely explain social progress. Countries achieve divergent levels of social progress at similar levels of GDP per capita.

Grafik 1: Hubungan Antara IKS dan GDP Per Kapita (PPP)

Kapasitas Indonesia

Bagaimana kapasitas Indonesia dalam hal kemajuan sosial diukur dengan IKS? Tabel 1 menunjukkan Indonesia dalam kancah global, dengan IKS=79.79, berada pada rangking 84 dari 163 negara yang dibandingkan, di bawah Aljazair (IKS=87.69). Mengomentari ranking ini seorang kolega menilai , Indonesia sebagai angota G20 (46 angota), ‘normal’-nya ranking sekitar 46.  Dalam kancah ASEAN, seperti ditunjukkan oleh Tabel 2, posisi Indonesia di bawah Singapura (IKS=85.46), Malaysia (IKS=76.69) dan Thailand (IKS=70.72); di atas Vietnam (IKS=68.85). 

Table 1: 2020 Social Progress Index rankings 
Tier Rank Country Score Basic Human Needs Foundation of Well-being Opport-unity
1 1 Norway 92.73 96.85 93.39 87.95
1 2 Denmark 92.11 96.10 91.58 88.66
1 13 Japan 90.14 97.78 92.15 80.50
2 14 Luxemburg 89.56 95.72 91.84 81.13
2 15 Austria 89.50 96.03 91.84 80.63
2 42 Barbados 80.50 87.25 80.08 74.16
3 43 Bulgaria 79.86 90.88 78.19 70.51
3 44 Mauritius 78.96 90.90 76.52 69.47
3 82 South Africa 70.26 73,35 69.28 68.14
4 83 Algeria 87.69 87.69 68.76 59.92

4

84

Indonesia

69.49

79.79

68.76

59.92

4 111 Senegal 60.04 66.20 61.17 52.76
5 112 Egypt 59.98 79.41 51.55 48.98
5 113  Turkmenistan 58.35 83.18 59.84 32.05
5 139 North Korea 50.01 63.94 52.79 33.30
6 140  Burkina Faso 49.87 47.93 54.74 46.95
6 141  Pakistan 49.25 59.49 46.88 41.39
6 163 Soth Sudan 31.06 35.74 36.69 20.73

Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Social_Progress_Index

Table 2: Social Progress Indices of ASEAN Countries
Country Rank Score Basic Human Needs Foundation of Well-being Opportunity
Singapore 29 85.46 97.66 86.13 73.58
Malaysia 48 76.96 88.77 80.52 61.59
Thailand 79 70.72 80.89 75.44 55.83
Indonesia 84 69.49 79.79 68.76 59.92
Vietnam 88 68.85 82.03 72.31 52.23
Philippies 98 66.62 70.74 71.24 57.87
Timor-Leste 110 61.08 63.84 66.88 52.53
Cambodia 118 56.27 67.27 62.09 39.53
Myanmar 120 55.99 64.61 59.27 44.10
Laos 133 51.80 62.64 55.18 37.58

Sumberhttps://en.wikipedia.org/wiki/Social_Progress_Index

Dilihat dari dimensi IKS, Tabel 2 menunjukkan bahwa kapasitas Indonesia relatif kuat dalam dimensi Kebutuhan Dasar (walaupun rendah dibandingkan Vietnam) tetapi relatif lemah dalam dimensi Peluang (walaupun lebih kuat dibandingkan Malaysia). Fakta ini layak catat bagi para pengambil kebijakan negeri ini.  Fakta lain yang layak catat adalah bahwa menurut Social Progress Initiative prospek IKS secara global ke depan tidak terlalu cerah dan ini terkait pandemic Covid-19.

Based on 2020 Social Progress Index projections, if current trends continue the world won’t achieve the Sustainable Development Goals 2082 – missing the 2030 target by more than a half-century. 

And unless urgent actions are taken, the Covid-19 pandemic and accompanying economic crisis risk setting social progress in the world back by another decade, pushing out achieving the SDGs until 2092.

Wallahualam….. @


[1] Indeks komposit lain yang dirancang untuk maksud serupa antara lain Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Happy Planet Index, dan OECD Better Life, dan Legatum Prosperity Index.

[2] Bandingkan angka-angka ini dengan 17 sasaran dan hampir 250 indikator SDG.

[3] Ini layak catat: rasa aman dikategorikan sebagai komponen kebutuhan dasar.

Covid-19, Iklim dan Pakistan

Kita secara kolektif tengah menghadapi dua macam krisis global luar biasa: krisis kesehatan dan krisis cuaca. Yang pertama dalam bentuk pandemi Covid-19 yang disebut oleh Dirjen WHO sebagai krisis kesehatan ‘sekali-dalam-seabad’ (once-in-a-century health crisis). Yang kedua dalam bentuk ‘bencana cuaca’ (climate cliff) yang belum tetapi patut diduga akan segera terjadi jika kita secara kolektif tidak segera melakukan aksi nyata untuk menghadapinya[1]. Dalam konteks ini Pakistan menarik untuk disorot karena memiliki beberapa kesamaan dengan Indonesia. Dari sisi agama keduanya sama-sama mayoritas muslim; dari sisi penduduk Indonesia hanya menang tipis (sekitar 52 juta).

Dampak Ekonomi

Dalam peringkat dunia Pakistan menempati urutan ke-16 negara yang paling terinfeksi pandemi Covid-19. Menurut worldmeter, per tanggal 25 Agustus 2020, negara ini mencatat sekitar 294,000 total kasus dengan 6,255 total kematian karena Covid-19. Sebagai perbandingan, pada tanggal yang sama Indonesia mencatat 155,000 kasus dengan 6,759 kasus kematian. Jadi dalam hal kematian, Indonesia sedikit lebih ‘unggul’. Dilihat dari total kasus yang tersembuhkan (recovered) Pakistan yang unggul: 278,425 kasus (Pakistan) berbanding 111,060 kasus (Indonesia).

Seperti halnya yang terjadi di semua negara, di Pakistan pandemi Covid-19 berdampak buruk terhadap ekonomi. Seperti dikemukakan Zafar Moti (mantan direktur Pasar Modal Pakistan, KSE), ‘Ekonomi Pakistan merosot, penganggur meningkat dan beberapa sektor ekonomi dalam krisis”. Walaupun demikian ia mengaku tidak terlalu mengkhawatirkan pasar keuangan Pakistan dan lebih prihatin mengenai dampak jangka panjang pandemi. Gejalanya sudah tampak: ketika Khan menduduki jabatan Presiden di tahun 2018, pertumbuhan GDP sekitar 5.8%; sekarang hanya 0.98% dan diperkirakan akan terus merosot.

PSBB Cerdas

Kasus harian Covid-19 di Pakistan dilaporkan cenderung turun. Bagi sebagian hal ini lebih terkait dengan berkurangnya pemeriksaan kasus ketimbang gambaran riil lapangan. Bagi Khan (PM Pakistan) penurunan itu terjadi karena PSBB yang cerdas (smart lockdown).

Sukar dipastikan penyebab penurunan kasus tetapi yang pasti Khan mengambil “strategi hijau” (green strategy) dengan proyek restorasi hutan yang ambisius, proyek 10 juta Pohon Tsunami (the 10 Billion Tree Tsunami). Strategi ini dipuji Sekjen PBB ketika melakukan kunjungan di empat negara Asia Selatan (16 Februari 2020): “Like all developing countries, Pakistan has contributed little to the problem but is facing a major impact from climate changes”.

Terkait perubahan iklim ini upaya Pakistan sangat serius. Pada tahun 2014 (jauh sebelum ada Covid-19), Pakistan menanam satu milyar pohon yang mencakup 350,000 hektar. Pada tahun 2020 ini upaya itu diperluas dengan mencakup 10 miliar pohon. Kita boleh saja menilai proyek ini ambisius tetapi pengalaman 2014 menunjukkan bahwa proyek semacam ini dapat dilakukan secara berhasil.

Mega proyek 10 miliar pohon diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru dalam jumlah yang relatif besar: “the mega 10 billion tree scheme is expected to create 1.5 million jobs in the next four years, according to Pakistan’s Ministry of Climate Change. Rupanya di Pakistan ada Menteri Perubahan Iklim. Itu adalah strategi ini cerdas, ‘sekali tepuk dua lalat mati’: pengangguran (akibat ekonomi terpuruk) dan pemanasan global.

******

Pakistan dan Indonesia sama-sama mayoritas Muslim dan sama-sama berpenduduk besar. Tetapi dalam urusan pohon keduanya berseberangan: jika Pakistan menanam pohon maka Indonesia menebang pohon (lihat Tabel).

[1] Lihat https://uzairsuhaimi.wordpress.com/2020/08/06/climgeddon-global-warming-climate-change/

Pemanasan Global dan Kesadaran Krisis

Ketika merespons tulisan penulis mengenai Climgeddon[1] seorang pembaca mengaku tidak tega menceritakan isinya kepada anak-cucunya. Respons ini wajar karena istilah itu merujuk pada skenario berakhirnya kehidupan akibat perubahan iklim. Perubahan ini mengarah pada pemanasan global yang terus meningkat secara eksponensial sehingga mencapai tingkat di mana tidak kesempatan untuk kembali, titik kritis (tipping points) dengan dampak yang sukar dibayangkan bagi kelangsungan kehidupan di Bumi.

Dua Tahun Ke Depan

Sekarang ini rata-rata suhu global 1.7º-2.2º Celsius di atas rata-rata sebelum era industri (1950-an). Angka idealnya adalah 1.5º Celsius sehingga kita sebenarnya telah memasuki Fase 1 dalam skenario Climgeddon. Berdasarkan pengalaman masa lalu dan dengan mengasumsikan kita secara kolektif melakukan kegiatan normal tanpa ada upaya radikal untuk menghindari maka dalam 2-6 tahun ke depan (2022) kita akan memasuki Fase 2. Dalam fase ini suhu global diprediksi akan mencapai 2.5º-3.2º Celsius (lihat Tabel).

Sumber: https://www.joboneforhumanity.org/climageddon_scenario 

Bencana Iklim

Pemanasan global pararel dengan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (khususnya karbon) di atmosfer bumi. Tiga tahun lalu (2017) konsentrasi gas karbon sekitar 407 satuan per juta atau 407 ppm (part per million). Dalam Fase 1 (sekarang), konsentrasi itu diperkirakan 400-450 ppm dengan titik tengah 425 ppm. Angka 425 ppm ini disebut sebagai ”garis perang” (battleline) yang tidak boleh dilewati; jika tidak, dalam waktu kurang dari satu dekade konsentrasi karbon akan mencapai 450. Dengan konsentrasi sebesar itu maka kita akan memasuki era yang bernama bencana iklim (Climate Cliff) yang sukar dibayangkan dampaknya (lihat grafik).

Empat Titik Kritis

Menurut skenario Climgeddon kita akan memasuki jalur dengan ada empat titik kritis (tipping points) yang menurut JobOne dapat menciptakan umpan balik positif yang membahayakan:

Tipping points can create highly dangerous positive feedback loops. Positive feedback loops—endless, self-reinforcing cycles can speed a global warming process so much that it will jump from a gradual, linear progression to a very steep, exponential progression or a falling off a cliff progression or complete system collapse which can lead to mass human extinction within our lifetimes.

Titik kritis dapat membuat putaran umpan balik positif yang sangat berbahaya. Putaran umpan balik positif — siklus tak berujung yang menguatkan diri dapat mempercepat proses pemanasan global sedemikian rupa sehingga akan melompat dari perkembangan linier yang bertahap ke perkembangan yang sangat curam dan eksponensial atau terjatuh dari tebing atau runtuhnya sistem secara total yang dapat menyebabkan kepunahan massal manusia dalam hidup kita.

Menurut JobOne ada empat titik kritis, diukur dengan emisi karbon di atmosfer bumi, yang memiliki ‘jadwal’ masing-masing:

  • 2025: emisi karbon 425-450 ppm,
  • 2042-2067 (atau lebih awal): pencairan es global yang mempercepat kepunahan,
  • 2063-2071 (atau sebelumnya): pelepasan metana masif yang semakin cepat, dan
  • Setelah 2072: suhu pemanasan global yang semakin meningkat.

Dampak pemanasan global sangat luas: semakin menyusutnya laut es, meningkatnya frekuensi banjir dan tsunami, meningkatnya kegiatan vulkanik, menghilangnya hutan, kematian plankton, dan sebagainya. Masing-masing dampak itu berinteraksi dan saling memperkuat. Grafik di bawah mengilustrasikan dampak pemanasan global terhadap berbagai aspek kehidupan di planet Bumi ini.

Kesadaran Krisis

Skenario Climgeddon berbasis pengetahuan, bukan sensai jurnalis apalagi isapan jempol. Skenario ini menegaskan kita dalam krisis eksistensial, menyangkut kelangsungan hidup. Pesan ini sudah dikumandangkan secara sangat tegas pada tingkat global melalui berbagai forum termasuk SDG (Goal 13: Climate Actions) dan Paris Agreement. Pertanyaannya, kenapa aksi yang diharapkan SDG terkesan masih belum merasuki kesadaran kolektif kita secara signifikan, kesadaran krisis (sense of crisis) mengenai bencana iklim. Jawabannya, sebagian, karena ideologi[2] sebagian besar kita kita menganut doktrin tempus nullinus (empty time, “waktu hampa”) yang, sebagaimana diungkapkan Roman Krznaric (19/2/19), seakan-akan menjustifikasi penjajahan masa depan.

We treat the future like a distant colonial outpost devoid of people, where we can freely dump ecological degradation, technological risk, nuclear waste and public debt, and that we feel at liberty to plunder as we please.

Jawaban lain yang masuk akal adalah bahwa isu pemanasan global, berbeda dengan isu Covid-19, misalnya, tidak tampak (invisible), tidak dianggap sebagai ancaman langsung (immediate threat), tidak ada ‘contoh’ sebelumnya (unprecedented), dan hubungan sebab-akibatnya tidak sederhana (complex).

Doktrin tempus nullinus secara kategoris bertentangan dengan semangat ajaran dasar semua agama, iman kepada hari akhir. Dalam konteks masa kini ajaran ini dapat dianalogikan dengan konsep pembangunan berkesinambungan yang diwujudkan sebagai upaya sadar dan komitmen total untuk menunda kebahagiaan” hari ini demi kebahagiaan hari esok (meminjam istilah Cak Nur), demi kelangsungan hidup generasi mendatang…

Ulah Manusia

Skenario Climgeddon mengambil titik awal 1950-an ketika era industri menjadi mode ekonomi yang dianut secara universal. Manfaat pembangunan industri bagi kemaslahatan manusia mustahil dibantah. Yang diperlukan adalah kesadaran bahwa industrialisasi membawa serta unsur-unsur yang memandu kita pada bencana iklim yang gejalanya semakin me nampak:

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS 30:41).

Apakah pandemi Covid-19 adalah salah satu cara Dia Rabb SWT mendidik (unsur dari Rabb) manusia? Pertanyaan ini timbul karena pengurangan aktivitas ekonomi karena pandemi ini terbukti membawa “berkah” dalam bentuk membaiknya kualitas atmosfer bumi walaupun agaknya tidak signifikan secara global dan belum memadai untuk memenuhi target Paris Agreement.

Wallahualam ….. @

[1] Lihat https://uzairsuhaimi.wordpress.com/2020/08/06/climgeddon-global-warming-climate-change/

[2] Lihat https://uzairsuhaimi.wordpress.com/2019/06/24/perubahan-iklim-kenapa-kita-abai/

Climgeddon

Akhir dunia. Semua agama dan tradisi besar mengenai istilah ini. Dalam Hinduisme, misalnya, ada istilah Pralaya[1] yang merujuk pada periode kehancuran alam semesta atau akhir dunia. Kata Mahapralaya merujuk pada situasi ketika kehancuran itu bersifat menyeluruh atau total. Tulisan ini terkait dengan skenario akhir dunia dalam skala Pralaya, akhir kehidupan di planet bumi ini. Skenario ini dikenal dengan kata majemuk Climgeddon, kombinasi kata Armageddon (skenario akhir dunia) dan climate (iklim) atau mudahnya pemanasan global. Singkatnya, Climgeddon adalah skenario berakhirnya kehidupan di bumi karena pemanasan global. Asumsi skenario: kita secara kolektif melakukan kegiatan normal seperti biasa tanpa aksi nyata untuk mengatasinya.

Masuk Akal

Skenario Climgeddon masuk akal karena tren pemanasan global adalah haq (Arab); artinya, benar dan nyata (riil). Ini angkanya: rata-rata suhu global naik lebih 1℃ dibandingkan dengan suhu sebelum industri (1950-an); angkanya, meningkat (Grafik 1).

Grafik 1: Rata-rata anomali Suhu Global

Sepintas kenaikan ini suhu global kecil tapi dampaknya luar biasa dan dapat dirasakan secara global. Kenaikan ini terjadi karena atmosfer bumi dipenuhi CO2 dan gas rumah kaca lainnya. Sekarang ini konsentrasi CO2 di atmosfer bumi sekitar 400 ppm, tertinggi selama 800,000 tahun. Yang bertanggung jawab kita yang secara global memancarkan CO2 ke atmosfer sekitar 36 miliar ton per tahun; angkanya, meningkat (Grafik 2).

Grafik 2 Total Emisi CO2 menurut Kawasan

Daftar Pendek

Kini kita berada pada Fase-1 Climgeddon dengan suhu global 1.7º-2.2º Celsius di atas level pra-industri. Dalam fase ini kita sudah menyaksikan berbagai bencana yang semakin sering dan parah. Ini daftar pendeknya (Sumber: https://www.joboneforhumanity.org/climageddon_scenario):

  • menyusutnya laut es dan rak es, gletser dan salju di belahan Utara Bumi,
  • kegagalan panen serta meningkatkan kelaparan massal (juga, melonjaknya harga pangan),
  • meningkatnya frekuensi dan intensitas semua jenis badai ekstrem, (angin topan, tornado, bom hujan, topan bom, dll.),
  • meluasnya kekeringan, semakin langkanya ketersediaan air minum bersih,
  • meluasnya penggurunan,
  • semakin seringnya kebakaran dan kebakaran hutan dan banjir, semakin beracunnya polusi udara, pengasaman laut semakin meningkat[2],
  • keanekaragaman hayati terus berkurang,
  • migrasi hewan dan serangga,
  • semakin berkurangnya fungsinya hutan dalam mengambil karbon dari atmosfer[3], dan
  • semakin besarnya kerugian ekonomi karena dampak pemanasan global[4].

Daftar dapat ditambah dengan, misalnya, semakin banyaknya pulau yang ‘hilang’ tenggelam[5].

Sukar Dibayangkan

Dengan mengaji daftar pendek di atas, ketika suhu global 1.7º-2.2º Celsius di atas level pra-industri, mudah bagi kita membayangkan skenario ketika suhu global menjadi 2.5º-3.2º Celsius. Angka ini adalah Fase-2 Climgeddon; jadwalnya, 2027. Suhu global terus meningkat sehingga pada tahun 2071 mencapai 5º-6º Celsius.

Perancang Climgeddon membuat gambaran situasi sampai tahun 2070 tetapi tidak berani membayangkan situasinya tahun berikutnya dan hanya menuliskan ‘unknown‘. Silahkan simak Grafik 3 untuk melihat jadwal lengkap Climgeddon.

Grafik 3: Jadwal Climgeddon

Sumber: https://www.joboneforhumanity.org/climageddon_scenario

******

Bagi Muslim, dalam konteks tulisan ini, terjemahan dua ayat ini layak direnungkan:

  • Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang mengadakan perbaikan” (QS 2;11).
  • Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia… (QS 30:41).

Wallahualam….. @

[1] Kamus Meriam-Webser mendefinisikannya sebagai “a period of dissolution or destruction of the manifested universe at the end of a kalpa according to Hindu philosophy: the end of the world“.

[2] Ini menyebabkan kehidupan laut kritis dan kematian terumbu karang. Pemanasan laut dan pengasaman laut dari karbon dari pemanasan global pada akhirnya akan membunuh banyak plankton penghasil oksigen lautan. Plankton ini bertanggung jawab atas sebanyak 50% dari semua oksigen diproduksi di planet ini.

[3] Hutan yang merupakan kekuatan penstabil utama yang menyerap karbon menjadi netral dalam penyerapan karbonnya dan berhenti mengambil karbon dari atmosfer. Segera dalam fase selanjutnya, hutan akan mulai melepaskan simpanan karbon mereka yang besar yang mendorong suhu lebih tinggi bahkan lebih cepat.

[4] Dalam fase ini, sebagian besar negara akan menghabiskan 1-3 persen dari total produk domestik bruto (PDB) secara langsung atau tidak langsung untuk membayar konsekuensi dari darurat pemanasan global.

[5] Menurut suatu laporan Pulau Seribu sudah kehilangan beberapa pulau kecial dan Indonesia dalam waktu dekat akan kehilangan sekitar 2,000 pulau.