Makhluk Terbaik dan Ahli Surga

Tulisan sebelumnya menegaskan makhluk terbaik mensyaratkan unsur iman dan unsur amal saleh, dua-duanya, sekaligus. Sederhananya, iman saja, atau amal saleh saja, tidak cukup untuk mendefinsikan makhluk terbaik. Penegasan ini didasarkan pada bacaan QS(98:7) dengan menerapkan prinsip-prinsip logika dan melihat ayat ini secara obyektif sebagai data teks. 

Lanjutan ayat (QS 98:8) menegaskan bahwa balasan (Arab: jaza) bagi makhluk terbaik adalah surga ‘Adn. Berikut adalah teks dan terjemahan ayat yang dimaksud:

جَزَآؤُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّـٰتُ عَدْنٍۢ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًۭا ۖ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِىَ رَبَّهُۥ

Balasan mereka (makhluk terbaik) di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. 

Dalam perspektif logika ayat ini mengiyaratkan relasi implikasi material dengan ayat sebelumnya. Relasi ini dapat dirumuskan oleh (t–>s) di mana t dan s masing-masing mmenyimbolkan “makhluk terbaik” dan “ahli surga”. Diagram Venn di bawah menggambarkan secara visual relasi ini.

Digaram Relasi (S–>I)

I: Himpunan orang yang beriman (di dunia).

S: Himpunan orang yang ahli surga (di akhirat).

Dua hal yang perlu dicatat mengenai relasi ini. Pertama, relasi itu tidak bermakna jika kasusnya bukan makhluk terbaik (~t). Kedua, relasi ini tidak mengatakan apa-apa mengenai status ahli surga (s) [1].

Bagaimana hubungan antara orang yang beriman dengan ahli surga? Dari diskusi sebelumnya jawabannya sebenarnya jelas: “Tidak semua orang beriman ahli surga”. Dalam diagram di atas xj mewakili kasus orang yang beriman tetapi bukan ahli surga.

Jika S(x): “Orang-orang yang beriman yang ahli surga”, maka pernyatan pernyataan “Tidak semua orang beriman ahli surga” bisa dinyatakan dalan bahasa logika sebagai berikut:

Bahasa ini bersifat universal dalam arti dimaknai secara baku oleh siapa pun. Simbol ∃ disebut existential quantifier dan ∀ universal quantifier. Simbol ∃x  agakanya perlu penjelasan tambahan dan ilustrasi sederhana berikut ini diharapkan dapat membantu.

Andaikan A dan B dua himpunan yang saling beririsan dan tidak saling melingkupi di mana:

A: Pembaca tulisan ini, katakanlah ada 100 orang, dan

B: Orang yang paham tulisan ini, katakanlah ada 100 orang.

Dari data ini dapat diketahui bahwa jumlah “pembaca yang memahami tulisan ini” dapat bervarisai antara 2 dan 98 orang. ∃x mencakup angka dengan variasi ini. 

  • Jika kasusnya 2 orang maka implikasinya: 99 orang “pembaca yang tidak memahami tulisan”, 99 orang “bukan pembaca tetapi memahami tulisan ini”. (Very likely Anda termasuk kasus yang 2 ini.)
  • Jika kasusnya 98 orang maka implikasinya: 1 “pembaca yang tidak memahami tulisan ini”, 1 orang “bukan pembaca tetapi memahami tulisan ini”. (Very likely Anda termasuk kasus yang 98 ini).

Tentu saja dalam korteks ini S(x): “Pembaca yang paham tulisan ini.

Berapa banyak ahli surga? Hanya Dia SWT yang mengetahui jumlahnya. Dia mengetahuinya secara pasti karena hemat penulis Dia SWT dengan ilmi-nya yang mencakup segala melakukan semacam “sensus” yang tanpa masalah cakupan (coverage error). Itulah pemahaman penulis dari bacaan QS(19:93-95).

Wallahualam….@  

Untuk mengakses tulisan sebelumya klik INI; untuk kembali ke Menu klik INI.


[1] Dibahas dalam tulisan sebelumnya mengenai Logika Simbol.

Kata Lemah Lembut

Istilah kata lemah lembut di sini merujuk pada atau terjemahan dari istilah qurani  qaulaan layyina (قَوْلًۭا لَّيِّنًۭا). Sebagaimana akan segera dijelaskan, istilah qurani ini tidak diwadahi secara memadai dalam KBBI yang menggambarkan kata lemah lembut sebagai kata yang “baik hati (tidak pemarah dan sebagainya) ; peramah”. Tulisan ini menjelaskan kenapa kasusnya demikian. Sebelumnya, untuk memberikan konteks, berikut dijelaskan bagaimana istilah qurani ini digunakan dalam al-Quran.

Misi Mustahil

Qaulaan layyina digunakan Musa AS dan Harun AS ketika menghadapi Firaun, seorang tiran yang pada zamannya luar biasa berkuasa, kejam dan angkuh. Misi kedua nabi ini adalah menyelamatkan Bani Israil yang dalam ukuran normal manusiawi mustahil. Demikian angkuhnya tiran ini sehingga ia berani mengaku dirinya Tuhan (Rabb). Menyadari ‘kemustahilan’ misi ini Musa-Harun AS mengadukan kekhawatiran mereka (QS 20:45):

قَالَا رَبَّنَآ إِنَّنَا نَخَافُ أَن يَفْرُطَ عَلَيْنَآ أَوْ أَن يَطْغَىٰ

Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.

Gaya Al-Quran

Istilah qaulaan layyina muncul sekali dalam al-Quran yaitu dalam  QS(20:45). Secara kebahasaan (اللغةالعربية) terjemahan istilah ini adalah lemah lembut (sesuai dengan KBBI). Tetapi menurut retorika al-Quran (البلاغة القران) kata ini merujuk pada sesuatu yang jauh lebih luas dan mendalam. 

Lalu apa yang dimaksud dengan qaulaan layyina? Sesuai gayanya, al-Quran menggambarkan istilah ini secara tidak langsung melalui potongan dialog sebagaimana tercantum dalam QS (20:47-48):

فَأْتِيَاهُ فَقُولَآ إِنَّا رَسُولَا رَبِّكَ فَأَرْسِلْ مَعَنَا بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ وَلَا تُعَذِّبْهُمْ ۖ قَدْ جِئْنَـٰكَ بِـَٔايَةٍۢ مِّن رَّبِّكَ ۖ وَٱلسَّلَـٰمُ عَلَىٰ مَنِ ٱتَّبَعَ ٱلْهُدَىٰٓ

إِنَّا قَدْ أُوحِىَ إِلَيْنَآ أَنَّ ٱلْعَذَابَ عَلَىٰ مَن كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ

Maka pergilah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan katakanlah: “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk (47). 

Sungguh telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan) pada siapa pun yang mendustakan (ajaran agama yang kami bawa) dan berpaling (tidak memperdulikannya) (48).

Ada tiga catatan mengenai kutipan ayat di atas. Pertama, dalam gaya qaulaan layyina tujuan misi disampaikan secara gamblang dan tanpa kompromi: “… lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka”. Jadi, qaulaan layyina berbeda dengan gaya bahasa diplomatik, misalnya, yang kerapkali disampaikan secara tersmar bahkan tidak jarang disertai semacama konsesi (reduksi kebenaran).

Catatan kedua, dalam gaya ini kebenaran hakiki diungkapkan secara tegas walaupun caranya tetap lemah lembut. Hal ini terungkap dalam kata “tuhanmu” (رَبِّكَ) yang disebut dua kali dalam ayat ke-47. Kata ini seolah-olah ingin mengungkapkan dua pesan yang berbeda sekaligus: (1) Kami diutus Tuhanmu; jadi, Tuhan kita sebenarnya sama, dan (2) Kamu bukan Tuhan. Jadi, gaya ini berbeda, misalnya, dengan gaya bahasa politisi yang dinarasikan secara canggih dan menawan tetapi tidak jarang disertai dengan pengorbanan kebenaran. Alasan klasik: keamanan nasional, mengganggu ‘pencitraan’ atau akseptibilitas partai atau pejabat, atau merusak pundi-pundi pribadi atau kelompok.

Catatan ketiga, gaya ini mencirikan mode umum penyampaian risalah para rasul yaitu tabsyir atau menyampaikan khabar gembira’ (وَٱلسَّلَـٰمُ عَلَىٰ مَنِ ٱتَّبَعَ ٱلْهُدَىٰٓ) dan tandzir atau mengancam (أَنَّ ٱلْعَذَابَ عَلَىٰ مَن كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ)

Preskriptif

Ulama sepakat bahwa setiap istilah dan kata yang ditemui dalam al-Quran tidak hanya bersifat deskriptif tetapi yang lebih utama adalah perkeriptif. Jadi dialog Musa-Harun AS VS Firaun di atas tidak sekedar menyampaikan informasi tetapi bermaksud mendidik bahkan memerintahkan pembaca untuk berkata lemah lembut. Analog, ayat yang memberitakan bahwa Nabi SAW berhati lembut (QS 3:159) dan berakhlak agung (QS 68:4) jelas bukan sekadar kalimat berita. Pertanyaannya, seandainya penulis rajin bersalawat, tetapi berakhlaq tercela, berhati kejam dan bertuturkata kasar, layakkah ia disebut pengikut tradisi Nabi SAW?

Mengenai sifat perskritif al-Quran layak disimak pengamatan Fazlur Rahman dalam Major Theme of Al-Quran:

It must be constantly remembered that the Qu r’ān is not just descriptive but is primarily prescriptive. Both the content of its message and the power of the form in which it is conveyed are designed not so much to “inform” men in any ordinary sense of the word as to change their character. The psychological impact and the moral import of its statements, therefore, have a primary role. Phrases like “God has sealed their hearts, blinded their eyes, deafened them to truth” in the Qur’ān do have a descriptive meaning in terms of the psychological processes described earlier; but even more primarily in such contexts, they have a definite psychological intention: to change the ways of men in the right direction.” 

Harus selalu diingat bahwa Al-Qur’an tidak hanya deskriptif tetapi terutama preskriptif. Baik isi pesannya maupun kekuatan bentuk penyampaiannya tidak dirancang sedemikian rupa untuk “memberi tahu” manusia dalam arti kata yang biasa, melainkan untuk mengubah karakter mereka. Oleh karena itu, dampak psikologis dan makna moral dari pernyataan-pernyataannya memiliki peran utama. Frasa seperti “Tuhan telah menutup hati mereka, membutakan mata mereka, membutakan mereka terhadap kebenaran” dalam Al-Qur’an memang memiliki makna deskriptif dalam kaitannya dengan proses psikologis yang dijelaskan sebelumnya; tetapi bahkan lebih utama dalam konteks seperti itu, mereka memiliki makna psikologis yang pasti: untuk mengubah cara manusia ke arah yang benar.”,

Wallahualam….@

Potret Umat: Refleksi Sejarah

Jejak Pemikiran dan Refleksi

Seabad yang lalu[1] Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman Empire) mendeklarasikan berakhirnya sistem kekhalifahan. Bagi Umat Islam (selanjutnya Umat) peristiwa ini bersifat historis karena mengakhiri tradisi panjang sistem kekhalifahan sejak abad ke-6. Walaupun demikian, peristiwa ini agaknya di luar kesadaran kolektif Umat atau terlupakan. Tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya “melawan lupa” kolektif itu dengan cara memotret gambar besar sejarah peradaban Umat dalam kepemimpinan berbagai kekhalifahan atau kesultanan dan merefleksikan beberapa isu yang relevan.

Peradaban Unik

Peradaban Umat yang dapat dikatakan unik: sumber spiritualnya bukan produk budaya “bumi” layaknya peradaban lain, melainkan ajaran “langit” atau wahyu. Wahyu mengawal perkembangan peradaban Umat sejak awal mulai dari peristiwa turunnya wahyu pertama sekitar 14 abad lalu. Peristiwa ini bersifat Adi Manusiawi dalam arti mustahil dapat dinarasikan secara memadai dalam bahasa manusia. Mengenai peristiwa ini pendapat Hazleton[2], seorang penulis sejarah berkebangsaan Yahudi-AS yang mengakui ateis, layak dicatat. Dalam ceramahnya di forum TED ia…

View original post 1,406 more words

Aturan Emas: Meditasi, Konsentrasi dan Salat

Jejak Pemikiran dan Refleksi

Konon ada Aturan Emas (Golden Rule) yang merangkum inti ajaran semua agama. Aturan Emas itu adalah: “Mencintai Tuhan dengan segenap kekuatan dan mencintai tetangga”[1]. Dalam Aturan ini kata mencintai berarti tindakan inteligensi yang didasari keyakinan yang benar (Iman, Faith), tindakan kehendak untuk menyeleraskan dengan kebenaran Iman, serta tindakan hati untuk “berasimilasi” dengan kebenaran itu. Mencintai dengan pengertian ini menuntut partisipasi keseluruhan wujud (whole being): inteligensi, kehendak dan hati sekaligus.

Apakah hubungannya dengan meditasi? Jawabannya tergantung pada definisi meditasi. Jika meditasi diartikan secara umum sebagai “tindakan atau proses meluangkan waktu untuk berpikir tenang” (“act or process of spending time in quiet thought”)[2], maka meditasi tidak terkait dengan Aturan Emas. Sebaliknya, hubungan antara keduanya sangat erat jika meditasi diartikan sebagai “kontak antara inteligensi dengan Kebenaran” sebagaimana dilihat dari perspektif kaum tradisionalis. Untuk memperoleh gambaran yang agak memadai mengenai makna meditasi…

View original post 660 more words