Berpuasa dengan Ihsan


Signifikansi Puasa

Saat ini hampir dua milyar kaum muslimin secara serentak berpuasa. Ini tak pelak merupakan suatu event tahunan unik dan salah satu pengalaman spiritual tingkat global terdahsyat di dunia ini[1]. Kenapa kaum muslimin bersusah payah berpantang makan, minum, berhubungan seksual dan kegiatan lain yang diketahui atau patut diduga dapat membatalkan puasa, sepanjang hari selama sebulan penuh? Jawabannya singkatnya, mereka menyadari puasa pada bulan Ramadhan merupakan salah satu kewajiban agama, sesuai al-Baqarah ayat 183. Mereka, berdasar ayat yang sama, mengetahui bahwa kewajiban serupa juga berlaku bagi umat-umat sebelumnya, termasuk penganut Agama Nasrani. Walaupun demikian, main stream kelompok umat ini tampaknya tidak menganggap puasa sebagai suatu kewajiban agama[2]:

Scripture does not command Christians to fast. God does not require or demand it of Christians. At the same time, the Bible presents fasting as something that is good, profitable, and beneficial. The book of Acts records believers fasting before they made important decisions (Acts 13:2; 14:23).

Kenapa seperti itu, tentu ada hikmah ilahiah yang berada di luar jangkauan nalar kita untuk memahami sepenuhnya. Mungkin kita hanya dapat berandai-andai: seandainya puasa dipraktekkan oleh Umat Nasrani sebagaimana Umat Islam melakukanya, dunia mungkin akan menyaksikan kehidupan global yang lebih indah dari yang kita alami sekarang. Kenapa lebih indah? Paling tidak karena dua alasan. Pertama, secara statistik, populasi Umat Nasrani pada tingkat global lebih besar dari pada populasi Umat Islam. Kedua, praktek puasa dapat mengundang turunnya rahmat dan berkah “langit” berupa kesempatan untuk mengembangkan spiritualitas pelakunya.

Fasting in Ramadan is a unique opportunity to develop spiritually and gain strength and control over our selves, our egos, the nafs, the unconscious automatic primitive nature that tends to dominate our lives when unchecked. … By observing fasting in Ramadan, a Muslim has a profound and unique opportunity to become more peaceful, present and spiritual — the very goal of Islam.

Puasa sebagi Rukun Islam

Bagi muslim, puasa bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam. Dalam konteks ini Islam dimaknai dalam arti sempit sebagai amalan lahiriah. Mengacu kepada hadits Jibril, Islam sebagai amalan lahiriah dapat dibedakan dari Iman yang menekankan amalan intelektual dan Ihsan yang menekankan amalan hati. Aspek amalan lahiriah merupakan bidang keahlian para ahli fiqh, sementara amalan intelektual dan amalan hati masing-masing merupakan keahlian ahli kalam dan ahli tasauf. Islam dalam arti sempit ini diilustrasikan oleh ayat ini:

“Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka) “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah “Kami telah tunduk (Islam)”, karena iman belum masuk dalam hatimu…. “ (49:14).

Yang perlu dicermati adalah bahwa Al-Qur’an menggunakan kata Islam (atau kata turunanya) dalam berbagai konteks dan mengandung makna yang lebih luas dari yang terungkap dalam kutipan di atas. Makna Islam yang lebih luas dapat dilihat dalam kutipan ayat-ayat berikut:

  1. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikma-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu (5:3)
  2. Apakah kamu menjadi saksi saat maut menjemput Ya’kub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya (Arab: muslimun) (2:133)
  3. Maka mengapa mereka mencari agama lain selain agama Allah, padahal apa yang di langit dan di bumi berserah diri (Arab: aslama) kepada-Nya, (baik) dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada-Nya semua dikembalikan (3: 83).

Kata Islam dalam kutipan pertama mengacu kepada keseluruhan ajaran Muhammad saw dan inilah yang tampaknya menjadi definisi Islam yang paling populer. Walaupun demikian, kita tidak boleh kehilangan wawasan bahwa al-Qur’an sebenarnya menggunakan istilah Islam dalam konteks yang lebih luas dari definisi populer itu karena menyangkut keseluruhan ajaran Ibrahiem AS dan ajaran anak-cucunya (2:133), dan bahkan mengacu pada keber-serahan-diri seluruh alam (3:83).

Bagi non-manusia, Islam atau sikap berserah-diri bersifat otomastis, tetapi bagi manusia sikap itu bersifat voluntir dalam arti harus didasari oleh kehendak sendiri. Kenapa? Karena manusia diciptakan sesuai “gambar”-Nya sehingga memiliki kebebasan penuh bahkan untuk membangkang-Nya.

Islam dalam pengertian paling sempit (49:14), seperti disinggung sebelumnya, dapat dibedakan dari Iman atau Ihsan. Tripatriat Islam-Iman-Ihsan membangun keseluruhan al-Dien atau Islam dalam arti luas. Pada umumnya para ulama sepakat bahwa ber-Islam (dalam artian sempit) belum tentu ber-Iman, tetapi ber-Iman mustahil tanpa ber-Islam. Mereka pada umumnya juga sepakat bahwa ber-Iman belum tentu ber-Ihsan, tetapi ber-Ihsan mustahil tanpa ber-Iman. Dalam bahasa matematis: Islam merupakan subset dari Iman yang merupakan subset dari Ihsan.

Pada hakikatnya, tripatriat Islam-Iman-Ihsan melingkupi semua tindakan utama khas manusia yang perlu diintegrasikan agar suatu tindakan positif mendatangkan hasil yang optimal sesuai yang dikehendaki. Tripatriat ini setara dengan tripatriat actingknowing-willing; atau activity-intellectuality-spirituality; atau work- faith-perfection.

ihsan

Sumber: Youtube

Dalam kaitannya dengan puasa, uraian di atas menyimpulkan bahwa untuk mencapai sasaran yaitu taqwa, puasa perlu dilakukan secara Ihsan. Kalimat pendek ini berarti bahwa untuk mencapai puncak kualitas mausia (taqwa), puasa perlu dilakukan bukan hanya sebagai tindakan lahiriah, tetapi sekaligus juga harus didasari oleh Iman, dan disempurnakan dengan Ihsan[*]. Ini berarti berarti pula bahwa puasa seyogyanya  dilakukan secara sempurna sesuai kaifiat (tatacara) yang ditetapkan syariat, dimotivasi keinginan untuk memperoleh ridha-Nya dan bukan karena motif lain, memperhatikan adab puasa, serta menyibukkan diri dengan amalan-amalan unggulan baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Inilah agaknya makna hadits: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala (ridha Allah), maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu” (HR. Bukhari). Wallahu’alam ……@

[*] Posting mengenai Ihsan ini dapat diakses dalam blog ini, antara lain yang bertajuk Ihsan: Pilar Agama yang Terabaikan.

[1] http://www.islamicrenaissance.com/blog/10-reasons-for-fasting-in-ramadan/

[2] http://www.christianbiblereference.org/faq_fasting.htm

2 thoughts on “Berpuasa dengan Ihsan

  1. Berpuasa dengan Ihsan
    Semoga kita dapat mencapai tingkatan tertinggi dalam berpuasa. Dari tingkatan ‘puasa awam’, naik menjadi ‘puasa khusus’ (shaumul khusus), dan mencapai tingkatan ‘shumul khusus khusus’. Profesional dan kompentensi pun menjadi melekat dalam menjalani kehidupan. Semoga puasa kita memperoleh nilai di sisi Allah SWT. Aamiin YRA.

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.