Substansi Puasa


Sumber gambar: Google

Umat Islam sedunia tengah berada dalam bulan puasa yang semaraknya terasa di mana-mana.

    • Hampir semua masjid menyediakan buka gratis. Ini dimungkinkan karena Umat “tengah” dermawan.
    • Hampir semua masjid ramai dibanjiri jamaah khsususnya untuk Salat sunat tarawih, sekali pun trennya bisanya berkurang sesuai dengan perjalanan waktu.
    • Pembaca Al-Quran banyak ditemukan bahkan di ruang publik.
    • Ceramah-ceramah keagamaan dalam berbagai corak, bentuk dan gaya semarak.

Semua itu, dalam perspektif sosial-politik-keagamaan, tentu positif dan patut disyukuri. Pertanyaannya, apakah dari sisi kualitas trennya meningkat?

    • Apakah semangat berbagi sudah semakin merefleksikan akhlak Umat dalam arti dilakukan melampaui hasrat pahala yang dijanjikan?
    • Apakah semarak tarawih semakin menumbuhkan kesadaran Umat mengenai keberadaan Rabb SWT yang senantiasa hadir mengawasi, kekerdilan-diri di hadapan-Nya, dan ketergantungan akan rahmat-Nya?
    • Apakah semarak baca Al-Quran meningkatkan pemahaman Umat mengenai isi serta pesan moral-spiritual Kitab Suci itu? Umat semakin mendekati akhlak qurani? Umat semakin menyadari keterbatasan akal di hadapan Wahyu?
    • Apakah semarak ceramah keagamaan semakin dimuati ajaran-ajaran yang lebih substantif dalam arti melampaui topik kaifiat (tata cara berpuasa) dan pahala puasa?

Daftar pertanyaan, masih dapat diperpanjang,  menggambarkan suasa batin dan keprihatinan penulis. Dalam hal ini penulis bisa jadi subyektif tetapi bukan sendirian. Tariq Ramadan, sebagai contoh, telah lama mengeluhkan keprihatinannya mengenai praktik puasa oleh Umat. Baginya puasa pada Bulan Ramadan ini paling meluas tetapi ajarannya diminimalkan bahkan dikhianati oleh Umat. Ini katanya:

The month of Ramadan is the world’s most widespread fast and yet its teachings are minimised, neglected and even betrayed (through literal application of rules that overlooks their ultimate objective).

Dari kutipan di atas tampak bahwa aspek puasa, menurut Tariq Ramadan, yang kurang disadari Umat adalah tujuan akhir dari puasa. Sebagai catatan, Tariq Ramadan (lahir 1962) adalah seorang akademisi, penulis, ahli filsafat dan profesor berkebangsaan Swiss yang juga cucu Hassan al-Banna, pendiri Ihkawanul Muslimin (Mesir).

Intelektual muda ini mengajak Umat untuk melihat ibadah puasa lebih sebagai wahana untuk latihan spiritual dalam arti luas. Ajakan ini ditegaskannya dalam kutipan-kutipan berikut yang layak direnungkan:

    1. Ramadan is, in its essence, a month of humanist spirituality.
    2. The philosophy of fasting calls upon us to know ourselves, to master ourselves, and to discipline ourselves the better to free ourselves. To fast is to identify our dependencies, and free ourselves from them.
    3. Instead of looking outside of ourselves and counting potential enemies, fasting summons us to turn our glance inward, and to take the measure of our greatest challenge: the self, the ego, in our own eyes and as others see us.
    4. Fasting is, first and foremost, an exercise for identifying and managing adversity in all its forms. With faith, in full conscience, fasting calls women and men to an extra degree of self-awareness.
    5. We must master our egoism, and through this mastery, step outside ourselves and educate ourselves in giving. Fasting requires that we rediscover all that is alive around us, and reconcile ourselves with our environment.
    6. The month of Ramadan is the world’s most widespread fast and yet its teachings are minimised, neglected and even betrayed (through the literal application of rules that overlooks their ultimate objective).

Posting lain mengenai puasa dapat diakses di SINI.

Wallahualam….@

 

 

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.