Setelah Lebaran Apa?


Umat Islam sejagat yang berjumlah sekitar 1.8 milyar iiwa[1] baru saja usai merayakan lebaran atau iedul fitri untuk menandai berakhirnya puasa wajib selama bulan Ramadhan tahun ini. Hari raya itu tepat hari ke-1 bulan Syawal. Pertanyaannya, apa yang sebaiknya dilakukan segera setelah perayaan itu? Tulisan ini mencoba menyajikan beberapa catatan kecil dalam rangka menjawab pertayaan itu dengan harapan ada dari pembaca budiman yang dapat mengambil manfaat darinya.

Yang wajib dulu

Dengan alasan tepat, puasa bulan Ramadhan dapat di-qadha pada bulan-bulan sesudahnya sebelum masuk bulan Ramadhan tahun berikutnya. Artinya, jika ada sejumlah hari pada bulan itu tidak dapat atau dibolehkan tidak berpuasa[2] maka kewajiban berpuasa itu dapat diganti dengan jumlah yang sama pada hari-hari di luar Ramadhan sebelum masuk bulan Ramadhan tahun depan. Ketetapan ini sesuai Q.S al-Baqarah:184.

Waktu yang sah untuk melakukan puasa qadha lumayan panjang, 11 bulan. Walaupun demikian, karena puasa ini hukumnya wajib maka jumhur (mayoritas) ulama menganjurkan untuk men-segerakan-nya dan ini berarti melakukannya pada bulan Syawal. Implikasinya, jika ada niat melakukan Puasa Sunat pada bulan itu maka sebaiknya dilakukan setelah puasa qadha. Mengenai hal ini layak disimak kutipan berikut:

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Siapa yang mempunyai kewajiban qodho’ puasa Ramadhan, hendaklah ia memulai puasa qodho’nya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qodho’ itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 391).

Begitu pula beliau mengatakan, “Siapa yang memulai qodho’ puasa Ramadhan terlebih dahulu dari puasa Syawal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal setelah qodho’nya sempurna, maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam hadits yaitu bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadhan lalu mengikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai jika menunaikan qodho’ puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di bulan Syawal tetap harus dilakukan setelah qodho’ itu dilakukan.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 392)[3].

Puasa Syawal

Puasa sunat pada Bulan Syawal bagi umat Islam di Indonesia, mungkin juga bagi umat di nega lain, lumayan populer. Ini dapat dipahami mengingat ada hadist mengenai hal itu dengan janji pahala yang “menggiurkan”. Berdasarkan hadits itu para ulama umumya sepakat mengenai sunatnya puasa syawal.

Mayoritas umat (termasuk penulis) tampaknya merasa puasa sunat ini “berat” karena selain tidak wajib, juga lumayan banyak godaan: sisa opor ayam, kue nastar, halal-bihalal, kacang, biskuit, dsb. Tetapi Rasul saw lebih mengetahui apa yang terbaik bagi umat sehingga menganjurkan puasa ini. Hikmah di balik ini mungkin antara lain umat memerlukan latihan ekstra untuk meng-costomize perilaku baik. Costomize seperti ini yang dicontohkan oleh Beckam: ia konon melakukan latihan menendang bola jarak jauh secara terarah selama 2-3 jam (baginya “sunah”) per sesi latihan setelah usai menjalani latihan resmi yang dipimpin oleh coach (baginya “wajib”).

Kembali ke puasa sunat Syawal. Hadits yang tampaknya dijadikan dasar bagi ulama untuk mensunatkannya diriwayatkan oleh Muslim: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).[4]

syawal1

Sumber: Google

Mengenai penjelasan hadits ini dapat disimak kutipan berikut:

Itulah dalil dari jumhur atau mayoritas ulama yag menunjukkan sunnahnya puasa Syawal. Yang berpendapat puasa tersebut sunnah adalah madzhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Imam Ahmad. Adapun Imam Malik memakruhkannya. Namun sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah, “Pendapat dalam madzhab Syafi’i yang menyunnahkan puasa Syawal didukung dengan dalil tegas ini. Jika telah terbukti adanya dukungan dalil dari hadits, maka pendapat tersebut tidaklah ditinggalkan hanya karena perkataan sebagian orang. Bahkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah ditinggalkan walau mayoritas atau seluruh manusia menyelisihinya. Sedangkan ulama yang khawatir jika puasa Syawal sampai disangka wajib, maka itu sangkaan yang sama saja bisa membatalkan anjuran puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura’ dan puasa sunnah lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51)

Singkatnya, karena ada haditsnya, sikap terbaik dan teraman bagi umat tentu melaksanakannya, bila kaifa, tanpa banyak tanya. Tetapi sayangnya sebagian umat (termasuk penulis) kerapkali tidak tahan untuk tidak ber-kaifa: kok bisa setahun penuh, bagaimana hitungan-hitungannya? Untuk memenuhi selera yang mungkin “keterlaluan ini”, hitungan-hitungan berikut mungkin membantu.

Mengenai “pahala” puasa syawal ini ada dua dasar perhitungan yang semuanya berdasarkan dalil naqli-nash atau argumen berbasis al-Qur’an:

  1. Jumlah bulan dalam setahun berdasarkan sistem kalender Masehi atau Hijriyah adalah 12 (dua belas) bulan. Ketetapan ini sesuai Q.S. At-Taubah:36.
  2. Ganjaran amal baik minimal 10 (sepuluh) kali lipat. Angka ini sesuai dengan Q.S. al-An’am:160.

Berdasarkan dalil ke-2 di atas maka:

  1. Pahala Puasa Ramadhan satu bulan (penuh) setara dengan 10 bulan-pahala; dan
  2. Puasa Sunat Syawal 6 (enam) hari setra dengan 6×10 hari pahala, atau 2 bulan-pahala;
  3. Jika (1) dan (2) dijumlahkan maka ketemu angka 12 bulan-pahala atau, sesuai dengan dalil ke-1, sama dengan setahun.

Perjumlahan itu mengasumsikan Puasa Ramadhan dilakukan secara penuh, tidak ada hari yang “bolong” selama bulan itu. Men-segarakan Puasa Qadha yang hukumnya wajib sebelum Puasa Syawal yang hukumnya sunah tentunya sejalan dengan prinsip “mendahulukan yang wajib”. Sikap itu juga mempermudah “perhitungan pahala”; bagi yang berminat tentunya….. . @

[1] Angka ini menurut PEW Reseach Center. Estimasi penulis angkanya lebih besar yaitu sekitar 2.4 milyar (lihat INI.)

[2] Alasan tepat yang dimaksud mencakup menstruasi bagi wanita, sakit, dalam perjalanan, dan sebagainya, sesuai hukum syar’i.

[3] https://muslim.or.id/17782-tata-cara-puasa-syawal.html

[4] https://muslim.or.id/17782-tata-cara-puasa-syawal.html

 

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.