Puasa: Tujuan dan Adab


Dasar hukum (syar’i) puasa adalah al-Baqarah ayat 183: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Ayat pendek ini mungkin termasuk paling populer di kalangan umat karena sering dikemukakan oleh para pencermah, khususnya pada bulan puasa.

Yang menarik untuk dicatat adalah bahwa ayat ini tidak menyebutkan siapa yang yang mewajibkan puasa. Dalam hal ini apa yang diungkapkan Shihab layak disimak. Baginya, tidak disebutkannya secara eksplisit pihak yang mewajibkan puasa mengisyaratkan bahwa ibadah ini sangat penting dan berguna bagi manusia; sedemikian penting dan bergunanya ibadah ini sehingga “seandainya bukan Allah SWT yang mewajibkannya, niscaya manusia yang akan mewajibkan atas dir mereka sendiri” Shihab (2002:401). Sejalan dengan pendapat ini al-Gazali (2012:123) mengungkapkan bahwa “puasa adalah asas ibadah yang sekaligus merupakan kunci untuk mendekatkan diri kepada Allah swt”.

Seperti ditegaskan dalam ayat ini, tujuan puasa adalah mencapai derajat takwa yang secara singkat dapat didefinisikan sebagai “terhindar dari segala macam sanksi atau dampak buruk bagi duniawi maupun ukhrawi” (Shihab, 2003:401). Dalam narasi al-Gazali (2012:123), tujuan puasa adalah “meredam keiginan nafsu dan meningkatkan kekutan batinmu, agar engkau dapat gunakan sebagai modal untuk meningkatkan nilai ketakwaanmu”.

takwa1

Sumber: Youtube

Yang juga menarik untuk dicatat adalah bahwa penggunaan kata “agar” (Arab: la’alla) dalam ayat itu dan ini mengisyaratkan bahwa antara puasa dan takwa tidak ada hubungan otomatis; artinya, orang yang berpuasa belum tentu mencapai derajat takwa. Hal ini sejalan dengan hadits yang kira-kira artinya “banyak orang yang berpuasa, namun ia tidak mendapat manfaat apa-apa dari puasanya itu, selain rasa lapar dan dahaga”.

Apa yang menyebabkan puasa tidak “ngefek” (istilah remaja) dalam arti tidak membuahkan pahala atau tidak efektif sebagai modal untuk meningkatkan ketakwaan sebagaimana diungkapkan al-Gazali? Jawaban singkat untuk pertanyaan ini adalah bahwa pelakunya kurang atau tidak mengindahkan adab puasa. Dalam kaitan ini layak disimak apa yang dikatakan al-Gazali (2012:121):

Agar puasa menjadi sempurna, maka yang harus dilakukan adalah menahan seluruh anggota tubuh dan pikiran dari melakukan hal-hal yang tidak disukai Allah. Artinya, engkau harus harus dapat menjaga mata dari hal-hal yang tidak disukai-Nya, menjaga lisan dari mengatakan sesuatu yang tidak manfaatnya untukmu, dan menjaga telinga dari mendengar hal-hal yang oleh Allah Ta’ala.

Termasuk dalam adab puasa adalah mengendalikan nafsu makan ketika berbuka. Mengenai hal ini al-Gazali (2012:123) sangat serius:

Jadi, bila engkau berbuka dengan memakan jatah makan yang mestinya untuk dua atau tiga kali, maka tidak ada gunanya engkau berpuasa. Sudah barang tentu perutmu akan terasa berat. Padahal benjana yang sangat dibenci Allah swt adalah perut yang terisi penuh makanan halal, hingga kekenyangan. Lantas, bagaimana dengan perut yang terisi makanan yang diharamkan”

Juga merupakan bagian dari adab puasa adalah menghindari lima perkara yang menurut hadits (dikutip oleh al-Gazali, 2012:120) dapat membatalkan pahala puasa: berbohong, mengadu-domba (namimah), memfitnah, bersumpah palsu dan memandang lawan jenis dengan syahwat.

Jika adab-adab puasa sebagaimana dibahas sebelumnya merupakan bagian dari akhlak (perilakuk otomtis) kita sehari-hari (bukan hanya bulan puasa), maka ada harapan puasa kita efektif dalam arti dapat menjadi modal bagi kita untuk meningkatkan nilai ketakwaan.

Perlu dicatat bahwa takwa menunut keterampilan-spiritual lebih, jauh di atas rata-rata: berinfak di waktu sempit, memaafkan kesalahan orang lain, sedikit tidur di malam hari (karena tahajjud), banyak minta ampun menjelang fajar, memberikan hak orang miskin tanpa perlu diminta. Keterampilan-keterampilan itu sama-sekali bukan mengada-ada tetapi secara eksplisit termaktub dalam al-Imran 134 dan al-Dzariat 15-19:

(orang yang bertkwa yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain (al-Iamran 134).

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam taman-taman (surga) dari mata air (15); mereka mengambil apa yang diberikan Tuhan kepada mereka. Sesungguhnya sebelum itu (di dunia) mereka tergolong muhsinin (16); mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam (17); dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah) (18); dan pada harta mereka ada hak untuk orang-orang miskin yang meminta, dan orang-orang miskin yang tidak meminta (19) (al-Dzariat: 15-19).

Kutipan ayat di atas menegaskan unsur ihsan dalam makna takwa yang kurang memperoleh perhatian pencermah atau khatib jum’at kita ketika menjelaskan takwa. Hal ini tentu memprihatinkan terutama bagi mereka yang serius ingin menggarisbawahi wajah Islam yang ramah dan damai.

Wallahu ‘alamu bi muraadih…..@

Referensi

Iman al-Gazali (2012), Biayatul Hidayah (Jalan Meraih Hidayah Allah) (terjemahan), Khatulistiwa.

Shihab, M. Quraisy ( 2002 ), Tafsir al-Misbah, Lentera Hati

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.